Sand Xpresi

Sand Xpresi
arti dari sebuah optimisme adalah sikap mental seseorang yang selalu bisa mengendalikan akal,pikiran,serta perbuatan yang positif serta selalu berpikiran jauh kedepan tanpa adanya rasa takut,bimbang ataupun salah karena yang ada dalam pikiran hanyalah kesan positif yang ditunjang dengan keberanian bertindak dan keyakinan akan kemampuan.

Sabtu, 27 November 2010

BUDAYA POLITIK MASYARAKAT ADAT (studi kasus di Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya))


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Negara Republik Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar yang dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa. Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.
 Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen, sudah tentu tidaklah mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Ada kemungkinan karena mereka dapat menerima pembaharuan atau modernisasi, baik yang berasal dari program-program pembangunan maupun yang diperoleh melalui arus informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi pada saat ini. Namun tak bisa dipungkiri pula kalau hingga kini pun masih tersisa sejumlah kelompok masyarakat yang tak perduli dengan hal yang berbau modern. Kelompok masyarakat yang menggambarkan kondisi tersebut adalah masyarakat adat yang hidup dalam sebuah lingkungan adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam kelompok yang memisahkan diri secara formal dari tatanan budaya pada umumnya.
Mengenai permasalahan budaya politik yang ada di Indonesia telah ada beberapa peneliti yang meneliti penelitian budaya politik Indonesia. Menurut Albert Widjaja (1988:24), Suryani (2008:3) budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri dari ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Albert Widjaja menyamakan budaya politik dengan konsep ideologi yang dapat berarti sikap mental, pandangan hidup, dan struktur pemikiran. Budaya politik menurutnya menekankan ideologi yang umum berlaku dimasyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam.
Studi budaya politik di Indonesia pernah dilakukan oleh para ilmuwan dari barat diantaranya yaitu Herbert Feith dan Clifford Geetz. Budaya politik suatu masyarakat akan ditentukan oleh unsur-unsur yang ada dalam masyarakat tersebut. Herbert Feith, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu aristokrasi jawa dan wiraswasta jawa. Sedangkan menurut Clifford Geetz, dalam masyarakat jawa terdapat tiga subkebudayaan yaitu santri, abangan, priyayi. Sementara itu, Hildred Greetz, mengelompokan masyarakat kepada tiga subkebudayaan yang disebut sosiocultural types menjadi petani pedalaman Jawa dan Bali, Masyarakat Islam Pantai, dan Masyarakat pegunungan. Pendapat para ahli barat tersebut kendatipun banyak menuai kritik, akan tetapi hal tersebut menunjukan adanya keanekaragaman subbudaya politik yang mempengaruhi budaya politik masyarakat di Indonesia. (Suryani, 2008:3).
Perkembangan pada subbudaya politik, menurut Nazarudin dalam Suryani (2008:6), dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yakni adat istiadat dan sistem kepercayaan (agama). Adat dan agama memainkan peranan yang besar dalam proses penyerapan dan pembentukan pandangan masyarakat tentang kekuasaan atau simbol-simbol yang ada disekitarnya. Adat dan agama telah mempengaruhi atau memberi bentuk pola sikap atau pandangan individual anggota masyarakat mengenai peranan yang mungkin dimainkannya dalam sistem politik.   
Konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah ini dirasakan langsung oleh seluruh daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Kabupaten Tasikmalaya yang merupakan salah satu daerah yang ada di Provinsi Jawa Barat bagian Priangan Timur. Dari sisi historis, Tasikmalaya memiliki sejarah yang panjang diduga nama ini mempunyai kaitan erat dengan keberadaan gunung Galunggung. Dahulu kala, nama yang dikenal pertama kali adalah Tawang atau Galunggung, yang pada jaman penjajahan Belanda daerah ini diperintah oleh seorang patih lurah (zelfstandige patih). Nama itu sering pula disatukan menjadi Tawang Galunggung. Tawang sama dengan Sawang yang artinya tempat yang luas terbuka atau dalam bahasa sunda berarti pula pulelongan. Daerah ini dikenal sangat subur dan banyak ditanami teh, kina, dan kopi (Hakim,2005:2).
Kekhasan budaya masyarakat Tasikmalaya yang dikenal santun dan religi sangat menarik kita kaji ketika kita kaitkan dengan kondisi sosial politik yang terjadi sekarang ini. Dimana proses demokratisasi yang sedang berjalan di negara ini sudah berjalan cukup lama terlebih setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998. Dimana setelahnya reformasi terjadi di negeri ini, mengakibatkan terjadinya perubahan yang cukup mendasar bagi perundang-undangan bangsa Indonesia. Terutama perubahan Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah. Sehingga masyarakat yang ada diakar rumput terlibat secara langsung didalam menentukan pemimpin yang akan memimpin negara ini maupun pimpinan daerah secara khususnya.
Seperti halnya yang terjadi di salah satu daerah  di kabupaten Tasikmalaya yang masih kental dengan kebudayaan aslinya sehingga dengan adanya perubahan mengenai peraturan pemerintahan daerah sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan adat istiadat di daerah tersebut. Daerah yang dimaksud  adalah Kampung Naga. Kampung Naga adalah salah satu daerah yang ada di kecamatan Salawu kabupaten Tasikmalaya ini merupakan sebuah kampung yang masih kuat mempertahankan kemurnian adat istiadatnya, meskipun disekitarnya sudah bisa dipastikan tidak lagi bisa menjaga pola hidup dan kebudayaan aslinya. Secara administratif Kampung Naga termasuk Desa Legok Dage Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut 26 km jauhnya. Untuk sampai ke Kampung Naga dari jalan menuju Garut dan Tasikmalaya kita menuruni tangga yang telah berdinding (Sunda = sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak sekitar 500 meter. Kemudian, melalui jalur sepanjang sungai Ciwulan untuk sampai di Kampung Naga. Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di perbukitan Kampung Naga dari produktivitas tanah bisa dikatakan subur.
 Struktur pemerintahan Kampung Naga sangat menarik kita bahas, kerena mempunyai cara tersendiri dalam pelaksanaannya. Ada beberapa jabatan tradisional diantaranya, jabatan tertinggi ada di tangan kuncen. Proses pemilihan kuncen tidak dibatasi usia, namun adanya hubungan keluarga secara turun temurun. Tugas seorang kuncen ialah memimpin upacara adat yang diadakan enam kali dalam satu tahun, mengatur, membuat, dan merumuskan kebijakan untuk diterapkan pada seluruh warganya. Jabatan kedua diduduki oleh seorang punduh yang tugasnya melaksanakan tugas keseharian yang diperintahkan oleh kuncen, seperti contoh mengurus, menata, dan mengarahkan warganya (ngurus laku meres gawe). Jabatan ketiga yaitu Lebe yang tugasnya mengurus masalah keagamaan diantaranya pemulasaraan jenazah. Sedangkan jabatan formal seperti pada umumnya adalah RT, RW, Kadus dibawah naungan pemerintah desa setempat. Hal ini menjadi sorotan bagi keberlangsungan sosial budaya yang ada di daerah. maka fenomena kebudayaan yang ada di Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya akan menjadi kajian dalam penelitian ini.
Keunikan dari desa ini terletak pada keseragaman rumah, arah yang mereka hadapi, rancangan, dan bahan bangunan. Semua Gables rumah wajah sungai dan selaras sepanjang sumbu timur-barat. Bahan atap untuk atap adalah ijuk (gula-serat kelapa). Tidak ada sepeda motor atau kendaraan lain di dalam atau dekat desa. Jalur sempit di antara rumah-rumah yang terbuat dari batu bulat kasar. Sebagaimana mempertahankan dinding dan tangga yang menuju ke bagian atas desa. Tidak ada listrik di Kampung Naga, dan bahkan penggunaan kaca jendela sangat baru-baru ini. Rumah yang ada di Kampung Naga baru saja lebih dari seratus rumah dan banyak keluarga. Di pusat desa, tepat di samping ruang sidang, adalah sebuah warung kecil yang menjual barang-barang kerajinan yang terbuat dari bambu terbelah dengan harga sangat moderat.
Kampung Naga yang merupakan daerah satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan sisanya digunakan untuk bidang pertanian panen dua kali setahun. Kampung Naga yang mempunyai kekhasan dalam bentuk rumah dan pola hidupnya yang masih tradisional ini masih bisa tetap bertahan dengan kebudayaan aslinya meskipun jumlah penduduknya yang sudah sekian banyaknya dan tidak jarang juga diantaranya yang sudah mendapatkan gelar sarjana maupun yang masih berstatus mahasiswa, tetapi semua itu tidak mempengaruhi kekhasan daerahnya.
Dari penjelasan tersebut, kampung Naga menjadi salah satu daerah yang memiliki magnet yang cukup kuat bagi kajian budaya baik lokal maupun nasional. Hal ini terbukti karena di kampung Naga tersebut tradisi-tradisi kebudayaan masih tetap terjaga meskipun arus modernisasi semakin menyeret daerah-daerah yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga Kampung Naga menjadi salah satu daerah yang bisa dikatakan istimewa karena struktur pemerintah dan adat istiadat beriringan dengan baik dalam menjaga kebudayaan dan menjaga norma-norma adat yang ditunjang dengan dijalankannya peraturan-peraturan pemerintah yang berbeda. Maka dari itu peneliti tertarik dalam penelitian ini untuk mengkaji budaya politik yang ada di Kampung Naga tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami rumuskan adalah:

1.      Bagaimana budaya politik masyarakat Kampung Naga ?
2.      Apakah kebudayaan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga mempengaruhi budaya politik Kampung Naga?

C.    Pembatasan Masalah
Pada penelitian ini, peneliti melakukan pembatasan terhadap permasalahan yang ada dan telah dirumuskan agar terarah dan terkonsentrasi dalam melakukan penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu budaya dan perilaku Politik Masyarakat Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. 


D.    Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui budaya politik masyarakat Kampung Naga.
2.      Untuk mengetahui pengaruh kebudayaan terhadap budaya politik masyarakat kampung naga.

E.     Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat yang bersifat teoritis dan bersifat  praktis.
1.      Manfaat teoritis
Manfaat yang sifatnya memberikan sumbangan pemikiran yang berupa teori-teori dalam kaitannya dengan budaya dan perilaku politik, hal ini terkait dengan perkembangan yang sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan kondisi dan perkembangan jaman, serta menambahkan kekhasanahan pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat adat.
2.      Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi penjelasan budaya dan perilaku politik khususnya bagi masyarakat kampung Naga di desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Lebih dari itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten Tasikmalaya agar senantiasa memberikan perhatian yang lebih terhadap kelestarian kebudayaan kampung Naga sehingga perilaku politik dari masyarakat kampung Naga di dasarkan atas orientasi yang jelas dan rasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Budaya Politik
A.1 Pengertian Budaya
Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa sansakerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
Mengenai definisi kebudayaan telah banyak sarjana-sarjana ilmu sosial yang mencoba menerangkan, atau setidak-tidaknya telah menyusun definisinya. Diantara banyak sarjana-sarjana yang mendefinisikan kebudayaan diantaranya yaitu, E.B.Taylor dan R linton.
Menurut EB taylor (1873) dalam bukunya yang berjudul primitive culture yang dikutif oleh Joko Tri Prasetya (1998 : 28)  menerangkan kebudayaan bahwa keseluruhan yang komplek, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut R.Linton yang dikutip oleh Joko Tri Prasetya (1998:29) mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya di dukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
Disamping definisi-definisi tersebut diatas, masih banyak definisi-definisi yang dikemukakan oleh para sarjana Indonesia seperti :
1.      Sulan Takdir Alisyahbana menerangkan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari suatu bangsa.
2.      Moh Hatta menerangkan bahwa kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa.
3.      Haji Agus Salim menerangkan bahwa kebudayaan adalah merupakan persatuan istilah budi dan daya menjadi makna sejiwa dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
4.      Dawson dalam bukunya “ Age Of The Gods” kebudayaan adalah cara hidup bersama ( cultur is a common way of life).
Sepintas lalu definisi-definisi tersebut kelihatan berbeda-beda, namun sebenarnya prinsipnya sama yaitu sama-sama mengakui adanya ciptaan manusia. Dapatlah kiranya ini kita tarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Hasil buah budi (budaya) manusia itu dapat kita bagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Kebudayaan Material (lahir), yaitu kebudayaan yang berwujud kebenaran misalnya : rumah, gedung, alat-alat senjata, mesin pakaian dan sebagainya.
2.      Kebudayaan Immaterial (Spiritual = batin), yaitu kebudayaan yang tidak berwujud misalnya adat istiadat, bahasa, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Koencoroningrat (2007:201-202) menguraikan tentang wujud kebudayaan menjadi tiga macam, yaitu :
1.    Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
Wujud pertama ini adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba dan difoto. Letaknya dalam pikiran manusia. Ide-ide dan gagasan manusia ini banyak yang hidup dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat.
Gagasan itu tidak lepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu sistem, disebut sistem budaya atau cultural system, yang dalam bahasa Indonesia disebut adat istiadat.
2.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud kedua ini adalah yang disebut sistem sosial atau social system, yaitu mengenai tindakan berpola manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan yang lainnya dari waktu ke waktu yang menurut pola tertentu. Sistem sosial ini bersifat konkrit sehingga bisa diobservasi, difoto dan didokumentir.

3.    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
Wujud ketiga ini adalah yang disebut kebudayaan fisik. Yaitu seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkrit berupa benda-benda yang bisa diraba, difoto dan dilihat.
Ketiga wujud kebudayaan terssebut diatas dalam kehidupan bermasyarakat tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan mengarahkan tindakan manusia baik gagasan, tindakan dan karya manusia menghasilkan benda-benda kabudayan fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamnya sehingga bisa mempengaruhi pola berpikir dan berbuatnya.
Adapun unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal yang dapat kita sebagai isi pokok tiap kebudayaan di dunia ini ialah :
1.    Peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari-hari misalnya : pakaian, perumahan, alat rumah tangga, senjata dan sebagainya.
2.    Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi misalnya : pertanian, peternakan, sistem produksi
3.    Sistem kemasyarakatan, misalnya : kekerabatan, sistem perkawinan, sistem warisan.
4.    Bahasa sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tulisan.
5.    Ilmu pengetahuan
6.    Kesenian, misalnya : seni suara, seni rupa, seni gerak.
7.    Sistem Religi.
Masing-masing unsur kebudayaan universal ini pasti menjelma dalam ketiga wujud budaya tersebut di atas, yaitu wujud sistem budaya, sistem sosial, dan unsur budaya fisik.
Perlu dimengerti bahwa unsur-unsur kebudayaan yang membentuk struktur kebudayaan itu tidak berdiri lepas dengan yang lainnya. Kebudayaan bukan hanya sekedar merupakan jumlah dari unsur-unsurnya saja melainkan merupakan keseluruhan dari unsur-unsur tersebut yang saling berkaitan erat (integrasi), yang membentuk kesatuan yang harmonis. Masing-masing unsur saling mempengaruhi secara timbal balik. Apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur, maka akan menimbulkan perubahan pada unsur yang lain pula.
A.2 Pengertian Politik
Dalam kajian akademis, politik diartikan dalam makna politics maupun policy (Gani, 1984:17 dikutip dalam Soebiantoro,  Dkk. Pengantar Ilmu Politik. Unsoed.2004) makna politics menunjukan pada interaksi kekuasaan dalam masyarakat yang meliputi fenomena mempertahankan, memperbesar, maupun merebut kekuasaan. Sedangkan istilah policy mengarah pada serangkaian tindakan yang sistematis untuk mencapai tujuan tertentu yang dibuat oleh aktor yang berpengaruh atau berkuasa, atau bisa dikenal sebagai kebijakan. Kebijakan yang dimaksud adalah yang bersifat otoritatif. Sehingga kita dapat melihat hubungan antara kedua makna tersebut yang pada esensinya bersumber pada hakekat berbagai aktor.
Miriam Budiarjo (1984:9 dikutip dalam Soebiantoro, Dkk. Pengantar Ilmu Politik. Unsoed.2004) merumuskan pengertian kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengeruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Menurut Mohtar Masoed (1994:119 dikutip dalam Soebiantoro,  Dkk. Pengantar Ilmu Politik. Unsoed.2004), elemen pengaruh saja tidak dapat menggambarkan kekuasaan dengan lebih jelas. Disamping konsep pengaruh diketengahkan pula konsep Authority (otoritas) dan Force (daya paksa). Dengan meninjau pendapat Coulombis dan Wolf, dijelaskan bahwa pendefinisian power secara luas merujuk pada apa saja yang biasa menciptakan dan mempertahankan pengendalian aktor A terhadap aktor B. Dalam hal ini power terdiri atas tiga unsur utama yaitu :
1.       Daya paksa (force) yang didefinisikan sebagai ancaman eksplisit atau penggunaan kekuatan militer, ekonomi, atau sarana pemaksa lainnya.
2.      Pengaruh (influence) merupakan penggunaan alat persuasi tanpa kekerasan oleh aktor A untuk menjamin agar perilaku aktor B sesuai dengan keinginan aktor A.
3.      Wewenang (authority) adalah sikap tunduk sukarela aktor B pada arahan (Nasehat atau Perintah ) yang diberikan oleh aktor A.
Sedangkan menurut Andre Bayo Ala (1985:23 dikutip dalam Soebiantoro, Dkk. Pengantar Ilmu Politik. Unsoed.2004) menyatakan bahwa walaupun terdapat anekaragam definisi, pada hakekatnya semua definisi tersebut secara eksplisit maupun implisit mengandung tiga unsur mutlak yaitu :
1.      Adanya aktor politik.
2.      Aktor itu melakukan kegiatan politik.
3.      Untuk mencapai nilai atau tujuan politik.
Singkatnya esensi politik dapat dirumuskan sebagai “siapa melakukan apa untuk memperoleh apa”.
A.3 Budaya Politik
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya,  dan sikap terhadap peranan warga negara didalam sistem itu.
Setiap masyarakat dari suatu negara memiliki budaya politik demikian pula individu-individu yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa memiliki orientasi, persepsi terhadap sistem politiknya. Hal itu terjadi dalam masyarakat modern dan masyarakat tradisional, bahkan masyarakat primitif sekalipun. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa dalam kaitan budaya politik, individu-individu dalam masyarakat itu menilai tempat dan peranannya di dalam sistem politik. Pengertian budaya politik seperti itu menggerakan pemahaman pada perpaduan antara dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.(Sudijono.1995: 36-37).
Selanjutnya Almond  dan Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang objek politik terdapat tiga komponen, yaitu :
1.      Komponen Kognitif yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya.
2.      Orientasi Apektif  yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor, dan segala penampilannya.
3.      Orientasi Evaluatif yaitu keputusan dan praduga tentang objek-objek politik yang sacara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
Syamsudin, memberikan contoh tentang saling berhubungannya ketiga komponen tersebut. Untuk dapat membentuk suatu penilaian tentang seorang pemimpin, seorang warga negara dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang pemimpin tersebut secara memadai. Namun demikian, tentulah bahwa pengetahuan tersebut telah dipengaruhi oleh berbagai aspek dan yang paling dominan ialah perasaannya sendiri. Demikian pula sebaliknya bahwa pengetahuan seseorang tentu juga dipengaruhi oleh pengetahuan tentang simbol politik yang sedang berlangsung. Bahkan dikatakan bahwa pengetahuan tentang simbol saling mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Selanjutnya dapat dinyatakan bahwa budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang didalam dan dipengaruhi oleh kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai. Dengan kondisi itu dapat dapat dikatakan bahwa dalam kerangka pengembangan budaya politik suatu bangsa, diperlukan keterjalinan dan keterkaitan antar nilai budaya maupun antar komponen orientasi dalam masyarakat sehingga dapat terjalin proses interaksi ke arah pengembangan budaya.
Dari pengertian diatas secara eksplisit menerangkan bahwa budaya  politik sesungguhnya akan dapat menjelaskan perilaku politik dan partisipasi politik, dengan kata lain pendekatan budaya politik adalah upaya menembus cara lebih dalam pemahaman tentang perilaku politik dan partisipasi politik.
A.3.1. Tipe-Tipe Budaya Politik
Untuk melihat peranan individu-individu dalam subjek politik itu, Almond dan Verba membedakan golongan subjek. Subjek pertama adalah peranan struktur khusus seperti badan  legislatif, eksekutif atau birokrasi. Kedua penunjang jabatan seperti pemimpin monarkhi, legislator dan administrator. Struktur dan penunjang  jabatan serta struktur secara timbal balik dapat diklasifikasi apakah mereka termasuk dalam proses atau “masukan” politik atau dalam proses administratif atau “keluaran”. Dengan proses (input) politik dapat terjadi bahwa arus tuntutan politik dari masyarakat mengalami pemutusan dengan proses konversi tuntutan-tuntutan ini ke arah kebijakan dan otoritatif.
Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan politik yang dimiliki, orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahan negaranya dapat digolongkan ke dalam kebudayaan politiknya. Suatu model budaya politik tertentu tak dapat dihubungkan secara kaku dengan sistem politik, apalagi hal itu menyangkut budaya politik yang lingkupnya luas, terutama bila subkultur juga disertakan.
Agar dapat diperoleh pendekatan dan gambaran yang relatif tepat tentang orientasi individu terhadap budaya politik, perlu dikumpulkan informasi mengenai pengetahuan, keterlibatan, dan penilaian seseorang terhadap salah satu objek pokok orientasi politik. Adapun objek-objek orientasi politik tersebut meliputi keterlibatan seseorang terhadap :
1.      Sistem politik secara keseluruhan
Hal ini meliputi intensitas pengetahuan, ungkapan perasaan yang ditandai dengan orientasi terhadap sejarah, ukuran lingkup lokasi,  interaksi kekuasaan,  karakteristik konstitusional negara,  atau sistem politiknya.
2.      Proses masukan
Proses ini meliputi intensitas pengetahuan dan perbuatan tentang proses penyaluran segala tuntutan yang diajukan atau diorganisasi oleh masyarakat, termasuk prakarsa untuk menerjamahkan atau mengkonversi tuntutan-tuntutan tersebut sehingga menjadi kebijaksanaan yang bersifat otokratif. Dengan demikian proses input meliputi pengamatan atas partisipasi politik, kelompok  kepentingan, dan alat komunikasi massa yang secara nyata berpengaruh terhadap kehidupan politik.
3.      Diri sendiri
Objek meliputi pengetahuan dan frekuensi perbuatan seseorang dalam mengambil peranan dalam sistem politik. Kaitan yang menjadi persoalan ialah apakah yang bersangkutan dapat memasuki lingkungan kelompok yang berpengaruh. Hal itu menyangkut kredibilitas dan kapabilitas personal. Kemudian mengenai bagaimana caranya untuk maningkatkan pengetahuannya sendiri, dan setelah itu baru dipersoalkan tentang kriteria apa yang dipergunkan dalam  membentuk pendapat dalam masyarakat atau sistem politiknya secara konsekuen.
Dalam penelitian tentang kebudayaan politik, Almond dan Verba membuat tentang klasifikasi tipe-tipe budaya politik. Secara garis besar kebudayaan politik dibedakan menjadi tiga, yaitu budaya politik parokial, subjek dan partisipan.
A.3.1.1 Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki pengkhususan tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan bersamaan dengan peranan yang lain seperti aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun keagamaan.
Collemen dalam Sudijono (1995:36-37). mencontohkan masyarakat suku-suku di Afrika, yang tidak terdapat pembagian pesan secara khusus antara pesan politik, sosial ataupun religius. Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang diperbandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarakat dengan budaya parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik termasuk bagian-bagian terhadap perubahan sekalipun. Dengan demikian parokialisme dalam sistem politik yang diterensiasi lebih bersifat afekif dan orientatif daripada kognitif.
A.3.1.2  Budaya Politik Subjek
Tipe budaya politik subjek ini memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah. Hal itu berarti bahwa masyarakat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah. Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling, baik mendukung atau bermusuhan terhadap sistem.
Namun demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi yang pasif. Di yakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan demikian secara umum mereka menerima keputusan yang diambil dan segala kebijaksanaan pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Bahkan mereka memiliki keyakinan bahwa apapun keputusan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah, dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijaksanaan pemimpinnya.
Orientasi budaya subjek yang murni sering terwujud dalam masyarakat yang tidak terdapat struktur masukan yang dideferensiasi. Demikian pula dalam budaya subjek orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada kognitif oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja didalam hati. Sikap itu tidak direalisasi ke dalam bentuk perilaku konkrit karena diyakini tidak ada sarana untuk memanifestasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya subjek terhadap pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya individu-individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga harus puas dan pasrah pada keadaan.


A.3.1.3 Budaya Politik Partisipan
Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi politik yang secara ekplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahwa terhadap struktur, proses politik dan administratif tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, memiliki kesadaran terhadap hak serta tanggung jawabnya. Masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. (Sudijono.1995 : 49).
Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partisipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa begitu kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak ataupun menerima.
Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek dan partisipasi hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otoriarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam perubahan sistem politik antara kultur dan struktur sering kali tidak selaras, dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format politik karena gagal mencapai harmoni. 
Seperti tadi telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik murni tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan politik atau budaya politik campuran (mixed polical cultures). Adapun tiga bentuk kebudayaan politik itu adalah sebagai berikut :
1.      Kebudayaan subjek parokial (the parokhial subject culture)
Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat kerukunan desa ataupun otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat kompleks.
Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik campuran seperti itu, didalamnya terdapat banyak individu yang aktif dalam politik. Tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan kedalam peranan subjek parokial. Hal itu berarti bahwa warga negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa orientasi peserta menggusur orientasi subjek dan parokial, tetapi tanpa menyebutkan kedua peranan terakhir itu secara eksplisit. .(Sudijono.1995 : 52). 
2.      Kebudayaan Subjek Partisipan (Subject Partisipant Culture)
Dalam budaya subjek partisipan yang bersifat campuran seperti ini sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagaian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga negara, sebagian yang lain justru sebaliknya yakni pasif. (Sudijono, 1995:53).
3.      Kebudayaan Parokial Partisipan (The Parokhial Participant Culture)
Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara yang relatif masih muda (berkembang). Pada tatanan ini terlihat negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan, termasuk didalamnya adalah pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan.
Persoalannya adalah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang itu dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara stimulan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung ke arah otoritarianisme, sedang pihak lain ke arah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak terdapat, sementara itu birokrasi tidak dapat berdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab. (Sudijono, 1995:54).
B.  Perilaku Politik
Pemahaman perilaku politik (Political Behaviour) yaitu perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruhan tingkah laku aktor politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah, dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik.
Perilaku politik dapat diartikan sebagai tindakan yang telah mendapat rangsangan dari faktor eksternal dalam upaya mempengaruhi proses politik. Pada suatu keadaan terkadang akan sulit memahami antara perilaku politik dan sikap politik.
Sikap politik merupakan predisposisi dari perilaku politik artinya sikap politik baru berupa perspektif seseorang yang otonom dan belum berupa tindakan. Sebagai contoh, apatis (sikap acuh tak acuh) atau tidak peduli terhadap sesuatu adalah sebuah sikap politik dimana sikap itu benar-benar bersumber dari apa yang dia yakini, sedangkan ikut memilih adalah suatu tindakan dalam proses politik yang kemungkinan tindakan itu telah mendapat rangsangan dari faktor eksternal sehingga dikatakan perilaku politik. Selain itu, dapat kaitan yang erat antara perilaku politik dan budaya politik, perilaku politik tumbuh atas kesadaran yang mendalam tentang sistem politik yang berlangsung atau tentang ideologi negara yang sedang dianut di masyarakat tersebut.
Manifestasi dari apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh manusia biasanya akan diwujudkannya dalam bentuk perilaku. Dalam konteks perilaku politik,  hal yang dipikirkan dan diinginkan tersebut berkaitan erat dengan orientasi politik yakni kekuasaan dimana kekuasaan itu diperolehnya dengan beberapa cara baik melalui cara konstitusional yakni dengan suatu proses pemilihan ataupun dengan cara inkonstitusional yakni dengan cara kudeta.
Bisa dijelaskan bahwa proses terjadinya perilaku politik diawali dari faktor lingkungan seperti adanya isu-isu yang kemudian beredar di masyarakat, kemudian parpol menangkap isu itu yang kemudian beredar di kelompok masyarakat, dengan stimulus yang di edarkan dari kelompok terbentuklah proses yang kemudian masuk ke individu, setelah mempelajari isu tersebut dari hasil proses  belajar terbentuklah sikap kemudian ada alternatif tindakan dimana individu melakukan proses memilih apakah individu itu menerima isu tersebut hanya sebagai sikap atau di konversi manjadi sebuah perilaku.





Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan bagaimana proses terbentuknya perilaku politik:
Gambar 1.
Proses terjadinya perilaku politik

Faktor Lingkungan
Masyarakat
Parpol
Kelompok
Proses
                         Stimulus rangsangan                       Individu
                         Hasil proses belajar                           Sikap        Alternatif tindakan
                                                              Proses memilih tindakan
                                              Perilaku politik
Sumbur : dikutip dari catatan Perkuliahan Perilaku Politik,FISIP,Unsil 2008.
Menurut Gabriel A. Almond, proses politik akan melahirkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh individu dan kelompok yang kemudian akan disosialisasikan melalui transmisi kebudayaan.

C. Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan bagian penting dari proses demokrasi dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Miriam Budiardjo (1982) dalam bukunya yang berjudul partisipasi dan partai politik mendefinisikan partai politik sebagai kegiatan seseorang  atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara, secara langsung atau tidak langsung, mempengeruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam Pemilu, menghadiri kampanye, menjadi anggota partai politik atau kelompok kepentingan, berhubungan dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen, dan sebagainya.dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga Negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.
Huntington dan Nelson yang dikutif oleh Sudiijono Sastroatmodjo (1995:67) mengatakan ada beberapa hal mengenai batasan partisipasi politik yang diantarannya : pertama, partisipasi politik mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Jadi, komponen seperti pengetahuan politik, minat politik, perasaan mengenal politik, tetapi sikap politik bukan merupakan partisipasi politik. Kedua, yang dimaksud partisipasi politik itu adalah aktivitas yang dilakukan oleh warga biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah.
 Ketiga, kegiatan partisipasi politik dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Kegiatan tersebut bisa legal maupun tidak legal. Jadi partisipasi politik disini sebagaimana dikemukakan Ramlan Surbakti sebagai keterlibatan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Keempat, partisipasi politik juga mencakup kegiatan untuk mempengaruhi pemerintah, baik efektif atau tidak, berhasil ataupun gagal. Jadi tidak melihat hasil akhirnya dalam mempengaruhi pemerintah. Kelima, kegiatan partisipasi politik bisa dilakukan langsung maupun tidak langsung, artinya oleh pelaku itu sendiri ataupun melalui perantara yang dianggap dapat menyalurkan kepada pemerintah.
C.1.Bentuk- Bentuk Partisipasi Politik
      Pertisipasi politik dapat dari beberapa sisi. Sebagai suatu kegiatan, Ramlan Subakti membedakannya menjadi pertisipasi aktif dan partisipasi pasif. Pertisipasi aktif berorientasikan pada masukan (input) dan keluaran (output) sistem politik, seperti mengusulkan sebuah kebijakan, memberikan kritik dan saran, dan lain-lain. Sedangkan partisipasi pasif hanya pada output sistem politik, seperti ikut memilih dalam pemilu, membayar pajak, mentaati peraturan pemerintah.
Sementara, Milbrath dan Goel yang dikutif oleh Sudiijono Sastroatmodjo (1995:74-75) membedakan partisipasi politik menjadi empat bagian yang diantaranya :
1. Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.
2.Spektator, yaitu yang berada pada kategori pasif yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilu.
3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam prosses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai, dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.
4. Pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional seperti mengadakan demonstrasi, memberikan ancaman, mogok kerja dan sebagainya.
Selain itu Goel dan Olsen memandang partisipasi sebagai dimensi utama kahidupan stratifikasi sosial. Meraka membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan yang diantaranya : 
1. Pemimpin politik, aktivis politik, komunikator, yaitu orang-orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik pada orang lain.
2. Warga negara marginal yaitu orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik.
3. Orang-orang yang terisolasi yaitu orang yang jarang melakukan partisipasi politik.
Berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi partisipasi yang bersifat sukarela (otonom) dan atas desakan orang lain (dimobolisasi). Bentuk bentuk partisipasi politik berdasarkan pelakunya, dibedakan menjadi partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi partisipasi kolektif yang konvensional dan non-konvensional. Bentuk partisipasi konvensional adalah seperti pemilu, diskusi politik, kampanye, ikut kelompok kepentingan, lobbying kontak dengan pejabat, dan lain-lain. Partisipasi politik non konvensional adalah seperti mengajukan petisi, demonstrasi, tindakan kekerasan, konfrontasi, pembakaran, gerilya revolusi, kudeta dan sebagainya.
C.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Partisipasi Politik
 Meluasnya partisipasi politik di sebuah Negara, menurut Weimer yang dikutif oleh Sudiijono Sastroatmodjo (1995:81) disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
1.         Adanya modernisasi, modenisasi disegala bidang berimplikasi pada kemajuan pendidikan, industrialisasi, pengembangan media masa dan sebagainya, sehingga akan memacu keterlibatan warga negara yang lebih luas untuk mempengaruhi kebijakan dan menuntut keikutsertaan dalam kekuasaan politik sebagai bentuk kesadaran politiknya.
2.         Terjadinya perubahan struktur-struktur kelas sosial. Perubahan struktur kelas baru itu sebagian akibat terbentuknya kelas menengah baru dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industrialisasi dan modernisasi. Kelas menengah baru akan secara kritis untuk menyuarakan kepentingan masyarakat.
3.         Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide dari kaum intelektual dan adanya komunikasi yang luas dengan massa akan berimplikasi pada tuntutan rakyat dalam menentukan kebijakan pemerintan.
4.         Adanya konflik pemimpin-pemimpin politik. Konflik pemimpin politik akan meningkatkan dukungan massa dan perluasan ide-ide baru yang di komunikasikan lewat media massa.
5.         Keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Masyarakat kemudian akan terangsang untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan disegala bidang tersebut.
Ramlan Surbakti mengemukakan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang, yaitu kesadaran politik seseorang dan kepercayaan politik terhadap pemerintah. Faktor lain yang berpengaruh adalah status ekonomi, status sosial, kegiatan berorganisasi, dan afiliasi politik orang tua.   

D. Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang hidup dalam suatu daerah tertentu, yang telah cukup lama dan mempunyai aturan-aturan yang mengatur mereka untuk menuju kepada tujuan yang sama. Dalam masyarakat tersebut, manusia selalu memperoleh kecakapan, pengetahuan-pengetahuan baru sehingga penimbunan  itu dalam keadaan sehat dan selalu bertambah isinya. (Tri Prasetya, 1998:36)
Menurut kodratnya, manusia adalah mahluk masyarakat. Manusia selalu hidup barsama dan berada di antara manusia lainnya. Dalam bentuk konkritnya, manusia bergaul, berkomunikasi,dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Keadaan ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat dorongan untuk hidup bermasyarakat di samping dengan kelakuan. Dorongan bermasyarakat dan dorongan kelakuan yang mendorong manusia bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri. ( Soeryabrata, 1996).

D.1. Bentuk-Bentuk Masyarakat
Menurut Mawardi (2004 : 220) atas dasar ketergantungan seorang kepada orang lain dan untuk mencari tujuan bersama, setiap orang bekerja sama dengan orang lain. Hubungan yang terjalin antar beberapa orang ini kemudian melahirkan kelompok orang atau masyarakat yang terjalin dalam satu ikatan. Dari segi pengelompokannya, masyarakat terbagi atas masyarakat paguyuban (Gemein Schaft) dan masayrakat patembayan (Gesel Schaft).
D.1.1 Masyarakat Paguyuban (Gemein Schaft)
Masyarakat paguyuban  dapat diartikan sebagai persekutuan hidup. P. J. Bouman (1976) lebih lanjut mengemukakan arti sebagai suatu persekutuan masyarakat yang disertai perasaan setia kawan dan keadaan kolektif yang besar. Hal ini membuktikan bahwa keterpisahaan dalam kelompok sangat disenanginya. Dengan demikian individu sebagai bagian unsur dari kelompoknya, merupakan unsur ciri yang vital.
Ciri-ciri masyarakat paguyuban ini diantaranya :
1.      Rela berkorban untuk kepentingan bersama.
2.      Pemenuhan hak tidak terlalu dikaitkan dengan kapasitas pemenuhan kewajibannya.
3.      Solidaritas yang sangat kokoh dan bersifat permanen.
D.1.2 Masyarakat Patembayan (Gesel Schaft)
Bila dibandingkan dengan masyarakat paguyuban, masyarakat patembayan mempunyai petalian yang lebih renggang. Menurut P. J.  Bouman (1976) mengibaratkan pertalian masyarakat patembayan ini seperti tumpukan pasir, yang tiap butir-butirnya pasir dapat terpisahkan dari butir lainnya.
Ciri masyarakat ini di antaranya :
1.      Pemenuhan hak seseorang didasarkan pada pemenuhan kewajiban.
2.      Solidaritas antar anggota tidak terlalu kuat dan hanya bersifat sementara.
D.2 Tingkatan-Tingkatan Masyarakat
Ditinjau dari akibat perubahan dan perkembangan yang terjadi, bentuk masyarakat dapat diklasifikasi pada masyarakat tradisional dan masyarakat modern.
D.2.1 Masyarakat  Tradisional
Sebagai bentuk dari kehidupan bersama, mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan lingkungan hidupnya, baik yang berupa manusia maupun yang berupa benda. Hal ini dapat dimengerti bahwa kehidupan masyarakat tradisional sangat bergantung pada manusia lain dan kondisi alamnya.
Dalam masyarakat tradisional, kepemimpinannya lebih bercorak pimpinan otokritas (Bahasa Jawa = nrimo) atas kebijakan para penguasa. Karena pengaturan-pengaturan yang ditetapkan hanya mengikuti adat dan kebiasaan yang tidak pernah tertulis, tidak heran bila pada masyarakat tradisional jawa lahir semboyan “Sabda Pandito Ratu” (ujaran pada pemimpin) menjadi acuan hukum yang berlaku. (Mawardi. 2004 : 221).
D.2.2 Masyarakat Modern
Masyarakat modern merupakan pola perubahan dari masyarakat tradisional yang telah mengalami kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu ukuran kemajuan dapat terlihat pada pola hidup dan kehidupannya. Di bidang mata pencaharian, mereka tidak bergantung pada sektor pertanian semata, tetapi merambat pada sektor lain seperti jasa dan perdagangan. (Mawardi, 2004 : 222-223)
D.2.3 Masyarakat adat
Secara singkat dapat dikatakan bahwa secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai Deklarasi ini di lapangan, maka kata "masyarakat adat" dan "masyarakat/penduduk pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orang-orang asli dari Departeman Urusan Ekonomi Sosial PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989). (Andaru: http. Masyarakat Adat. pdf)
Sem Karoba menyatakan dalam bukunya  yang menerjemahkan Deklarasi Masyarakat Hak Asasi Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, atau disebut juga Deklarasi Masyarakat Adat) menyatakan "secara praktis ternyata mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim.
Masih ada debat panjang tentang makna kedua istilah secara sematik, normatif, kronologis, politis dan sebagainya, tetapi secara praktis masyarakat yang merasa dirinya sedang ditangani dan dilayani lewat deklarasi ini mengidentifikasi diri mereka sebagai bumiputra (indigenous). Dalam konvensi ILO dan deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB.
 Dalam Konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa: Bangsa, Suku dan Masyarakat Adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang didaerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada didaerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut.
Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku bangsa sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.
E. Hasil Kajian Atau Penelitian Lain Tentang Kampung Naga

Penelitian yang dilakukan oleh Purwanto, Sunaryo, Dedy Kusnadi, Asep Hermawan dan Siswo menjelaskan bahwa pemimpin adat (Kuncen) mengkomunikasikan pandangan kosmologi tentang waktu yang mereka miliki secara bahasa tutur (lisan) dan cara penyampaian pesannya melalui komunikasi antar personal diadik, antar personal triadik dan komunikasi kelompok kepada anggota masyarakat Kampung Naga dengan tujuan untuk mempertahankan adat istiadat secara turun temurun. Substansi pandangan kosmologi waktu sebagai pesan komunikasi yang dimiliki oleh pemimpin adat terdapat dua puluh lima macam, sebagai waktu metris atau nomos yang dapat dikategorikan menjadi tujuh kategori yaitu :
(1) Nama, waktu, dan makna waktu.
(2) Waktu uga (ramalan).
(3) Makna khusus dalam waktu.
(4) Waktu nahas.
(5) Norma waktu khusus untuk mencari nafkah.
(6) Waktu sakral khusus untuk upacara adat.
(7) Kala dalam waktu.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dra. Siti Maryam menjelaskan bahwa pimpinan adat mengkomunikasikan pikukuh secara lisan dan tulisan melalui sasuru (diadik), dua suru (triadik), dan sajuru. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa model komunikasi seperti tersebut diatas ternyata sangat efektif bagi perilaku masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Berdasarkan kedua penelitian tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang karakteristik individu dan karakteristik social Masyarakat Kampung Naga dan kaitannya dengan pola pertukaran informasi.
Aspek karakteristik individu yang dibahas dalam penelitian ini meliputi : pendidikan,  jenis kelamin, agama, status social. Penjelasan dalam bagian ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai agama dan status sosial. Kedudukan (status) dan peranan (role) merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan masyarakat, dan mempunyai arti penting bagi sistem sosial.
Karakteristik sosial yang dibahas dalam penelitian ini yaitu norma-norma sosial yang ada pada masyarakat Kampung Naga. Norma-norma dalam suatu masyarakat dirumuskan agar supaya hubungan antar manusia didalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Mula-mula norma tersebut terbentuk secara tidak disengaja, namun lama-kelamaan norma tersebut dibuat secara tidak sadar. Norma-norma yang ada didalam masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat daya ikatnya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat pada tidak berani melanggarnya. Menurut Soekanto (2002 : 200), untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian, yaitu :
a. Cara (usage).
b. Kebiasaan (folkways).
c. Tata kelakuan (mores), dan
d. Adat-istiadat (custom).
Dan penelitian yang di lakukan oleh Etty Saringendyanti menunjukkan bahwa kosmologi Sunda yang tertuang dalam mitologi dan penataan ruang Kampung Naga merupakan akulturasi dari ajaran lokal baik yang berasal dari masa prasejarah khususnya tradisi megalitik, Hindu Budha, maupun  ajaran Islam. Mitologi itu tersirat dari mitos, ritual (upacara adat), dan seni tradisi.
Dari beberapa penelitian di atas jelas beda dengan apa yang peneliti kaji dalam penelitian ini. Pada penelitian ini , peneliti memfokuskan kajiannya pada budaya politik masyarakat Kampung Naga serta pengaruh dari kebudayaan nenek moyangnya terhadap budaya politik tersebut.
F. Kerangka Pemikiran
Setiap masyarakat dari suatu Negara memiliki budaya politik, demikian pula individu-individu yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa memiliki orientasi, persepsi terhadap sistem politiknya. Hal itu terjadi dalam masyarakat modern dan masyarakat tradisional bahkan masyarakat primitif sekalipun. Selanjutnya mengenai budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang didalam dan dipengaruhi oleh komplek nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai. Dengan kondisi itu dapat dikatakan bahwa dalam kerangka pengembangan budaya politik suatu bangsa, diperlukan keterjalinan dan keterkaitan antar nilai budaya maupun antar komponen orientasi dalam masyarakat sehingga dapat terjalin proses interaksi kearah pengembangan budaya.
Dari penjelasan diatas, secara eksplisit menerangkan bahwa budaya politik sesungguhnya akan dapat menjelaskan perilaku politik dan partisipasi politik . Dengan kata lain pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam pemahaman tentang perilaku politik dan partisipasi politik. Maka dalam hal ini peneliti berusaha meneliti suatu daerah yang ada di Kabupaten Tasikmalaya tepatnya berada di Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu. Daerah ini memiliki luas wilayah 1,5 Ha, dan jumlah penduduknya menurut data sensus terakhir kurang lebih 102 KK tersebut merupakan salah satu daerah yang masih bisa menjaga dan mempertahankan adat kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyangnya.
Struktur pemerintahan Kampung Naga sangat menarik kita bahas, kerena mempunyai cara tersendiri dalam pelaksanaannya. Ada beberapa jabatan tradisional diantaranya, jabatan tertinggi ada di tangan Kuncen. Proses pemilihan kuncen tidak dibatasi usia, namun adanya hubungan keluarga secara turun temurun. Tugas seorang kuncen ialah memimpin upacara adat yang diadakan enam kali dalam satu tahun, mengatur, membuat, dan merumuskan kebijakan untuk diterapkan pada seluruh warganya. Jabatan kedua diduduki oleh seorang punduh yang tugasnya melaksanakan tugas keseharian yang diperintahkan oleh kuncen, seperti contoh mengurus, menata, dan mengarahkan warganya (ngurus laku meres gawe). Jabatan ketiga yaitu Lebe yang tugasnya mengurus masalah keagamaan diantaranya pemulasaraan jenazah. Sedangkan jabatan formal seperti pada umumnya adalah RT, RW, Kadus dibawah naungan pemerintah desa setempat. Hal ini menjadi sorotan bagi keberlangsungan sosial budaya yang ada didaerah. maka fenomena kebudayaan yang ada di kampung Naga desa Neglasari kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya akan menjadi kajian dalam penelitian ini.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, didalam menyelesaikan penelitian mengenai budaya politik masyarakat Kampung Naga, peneliti membuat sebuah kerangka pemikiran. Dalam penelitian dengan maksud mempermudah dan memperjelas alur penelitian yang dilakukan sehingga hasil yang didapat benar-banar sesuai dengan masalah yang dirumuskan.

Gambar 1.
Kerangka pemikiran


 


BAB III
METODE DAN ANALISIS

A.    Metode Penelitian
1.      Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah masyarakat Kampung Naga di Desa Neglasari kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, warga sekitar Kampung Naga, serta pemerintahan Desa Neglasari.
2.      Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tasikmalaya khususnya di Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.
3.      Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam peneltian ini adalah penelitian kualitatif yaitu proses memahami masalah sosial atau manusia berdasarkan penciptaan gambaran secara holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam latar ilmiah. Serta data yang dikumpulkan berupa kata-kata atau kalimat atau gambar atau tabel.
4.      Fokus Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada kebudayaan politik masyarakat Kampung Naga saat ini serta bagaimana warisan kebudayaan itu berpengaruh atau tidaknya terhadap budaya politik masyarakat Kampung Naga saat ini.
5.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam  penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Muhajir analisis studi kasus menyangkut objek-objek seperti : laju perkembangan dalam arti kecendrungan, pola, dan juga ketidakteraturan dan penyimpangan, tingkat kedewasaan, dalam arti tampilan perilaku dan integrasinya, karakteristik pribadi, mempelajari masa lampaunya untuk membuat diagnosis dan mencari faktor penyebab, dan memprediksikan masa depannya, membuat prognosis berdasar asumsi stabilitas perkembangannya (Muhajir, 61 : 2000).
6.      Teknik Pengambilan Informan
Teknik pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat  purposive sampling dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap mengetahui dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data namun demikian informan yang dipilih dapat menunjukan informan lain yang lebih tahu (snowball) maka pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memproleh data. Informan dalam hal ini terdiri dari beberapa pihak yaitu :
1.      Ketua Adat (Kuncen) kampung Naga.
2.      Ketua RT kampung Naga.
3.      Kepala Desa Neglasari.
4.      Masyarakat Kampung Naga


7.      Metode Pengumpulan Data
a.       Wawancara mendalam
Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian itu merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi (pengamatan). (Bungin, 2006 : 88).
Wawancara mendalam merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan secara informal yang dapat dilakukan pada waktu atau konteks yang dianggap tepat guna mendapatkan data yang mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan berkali-kali sesuai dengan keperluan peneliti.
Teknik ini dimaksudkan agar peneliti mampu mengeksplorasi data dari informan yang bersifat data, nilai, makna dan pemahaman yang belum terungkap, cara pengambilan informasi yang dilakukan dengan tanya jawab yang bersifat informal dengan informan.
b.      Dokumentasi
Dokumentasi dapat berupa surat, memoranda, agenda, pengumuman-pengumuman, catatan rapat, proposal, progress report, laporan studi yang pernah dilakukan di tempat yang sama, kliping berita, dan juga artikel di media masa yang relevan. Dalam penelitian ini didokumentasikan data-data yang didapat juga dari agenda-agenda kegiatan tradisi masyarakat Kampung Naga.

c.       Observasi Langsung
Observasi dilakukan untuk memperoleh data melalui pengamatan terhadap fenomena sosial yang menjadi kajian dalam penelitian,  observasi atau pengamatan langsung merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena sosial yang terjadi di lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang bersifat tindakan atau tingkah laku sehari-hari. Observasi atau pengamatan ini dimaksudkan sebagai pengumpulan data secara selektif. Menurut Lincoln dan Guba (1985 dikutif dalam buku Rusadi Ruslan :2004: 33) mengklasifikasikan observasi dengan tiga cara melalui : pertama, pengamat bertindak sebagai partisipan atau nonpartisipan, kedua,  Observasi dapat dilakukan secara terang-terangan dihadapan responden atau dengan melakukan penyamaran mengenai kehadiran dihadapan responden. Ketiga, menyangkut latar belakang penelitian, observasi yang dilakukan secara alami atau dirancang melalui analog dengan wawancara terstruktur atau tidak terstruktur. (Rosyady, 2004)
d.      Kumpulan Arsip
Data meliputi catatan kegiatan, peta dan daftar karakteristik geografis suatu tempat, daftar nama-nama, data survei, dan juga catatan pribadi.


8.      Sumber dan Jenis Data
a.       Sumber Data
1.      Informan
Dalam penelitian ini beberapa informan awal dipilih secara purposive atas dasar pertimbangan bahwa informan yang dipilih memang benar-benar memahami permasalahan yang akan diteliti, seperti ketua Adat (Kuncen), Kepala Desa Neglasari dan perangkatnya yang didalamnya sekretaris desa sampai kepada ketua RW dan RT di Desa Neglasari serta masyarakat setempat.
b.      Jenis Data
1.      Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari responden sebagai sumber utama yang dijadikan sasaran penelitian yakni, Kepala Desa Neglasari beserta perangkatnya, ketua RW, ketua RT, dan ketua adat (kucen).
2.      Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan penelitian untuk melengkapi dan memperjelas data primer. Data sekunder dapat berupa data penduduk masyarakat kampung naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.


B.     Metode Analisis Penelitian
1.    Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif (Interactive Model of Analysis). Menurut Miles dan Huberman (1992 : 16) yang dikutip oleh Muhajir  mengatakan  dalam model ini tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan, dilakukan dengan bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data (data collecting) sebagai suatu siklus. Ketiga kegiatan dalam analisis model interaktif dapat dijelaskan sebagai berikut :
1      Reduksi data (data reduction)
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan data “kasar” yang muncul dalam catatan-catatan tertulis dilapangan. Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data.
2      Penyajian data (data display)
Diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan penyajian data, peneliti akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasarkan pemahaman tentang penyajian data.
3      Penarikan kesimpulan (conclusion drawing)
Kesimpulan yang diambil akan ditangani secara longgar dan tetap terbuka sehingga kesimpulan yang semula belum jelas, kemudian akan meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan ini juga diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan maksud-maksud menguji kebenaran, kekokohan dan kecocokannya yang merupakan validitasnya.
Proses analisis interaktif (Interactive model of analisis) ini dapat dilihat gambar sebagai berikut :
Pengumpulan Data
 
Gambar 2.
 




Sumber: Milles dan Hoberman, 1992: 20
2.    Validitas Data
Dalam penelitian ini yang digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2001 : 103).  
Davin dalam Moleong  (2000 : 178) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.
1.      Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
2.      Triangulasi dengan metode ada dua strategi yaitu : pertama, pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan kedua, pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
3.      Triangulasi dengan penyidik, adalah jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.
4.      Triangulasi dengan teori, berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori   Patton dalam Moleong ( 2000:178).
Untuk menguji validitas data dalam penelitian digunakan teknik triangulasi sumber. Dalam hal ini dapat ditempuh dengan cara :
1.      Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
2.      Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3.      Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
4.      Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang memiliki latar belakang yang berlainan.
5.      Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berlainan.
Melalui teknik ini diharapkan validitas data bisa terjamin. Adapun tahap yang digunakan dalam penelitian hanya berkisar pada tahap ‘1’ (membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara) dan tahap ‘5’ (membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen). Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga sehingga tidak semua tahapan dapat dilaksanakan.
Selain triangulasi, teknik uji validitas data dalam penelitian ini juga menggunakan teknik informan review. Informan refiew dilakukan dengan cara laporan penelitian di review oleh informan (khususnya key informan) untuk mengetahui apakah yang diteliti merupakan sesuatu yang dapat disetujui mereka. Dalam hal ini kadang-kadang memerlukan diskusi agar pengertian dari kedua belah pihak dapat dicapai (dalam Andreas, Sutopo, 1988:33). 



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Wilayah Penelitian
1. Sejarah Singkat Kampung Naga
Sejarah atau asal usul Kampung Naga, menurut salah satu versi yang dikemukakan oleh ketua adat setempat, dimulai pada saat seorang hamba yang bernama Singaparna ditugaskan untuk menyebarkan Islam ke Barat. Lalu ia sampai ke daerah Neglasari, yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga oleh Sembah Dalem Singaparana disebut Kampung Naga. Suatu hari ia dapat ilapat atau instruksi harus meditasi. Dalam semedinya Dalem Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus tinggal di tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sanaga" adalah Nenek Ibadah Singaparana atau Dalem Singaparana  dengan Nenek Galunggung, yang di makamkan di sebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat sebagai tempat suci Kampung Naga yang jadi tempat ziarah oleh warga dan  selama upacara diadakan untuk semua keturunannya.
Tapi ketika Nenek Singaparna meninggal, bukan data yang diperoleh bahkan menurut keyakinan mereka yang diwariskan secara turun temurun, leluhur orang Naga tidak meninggal tetapi menghilang tanpa meninggalkan tubuh. Dan di situlah orang  Kampung Naga menganggapnya sebagai kuburan, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga.
Ada beberapa nama-nama leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti : Pangeran Kudratullah, dimakamnya di Kabupaten Garut Gadog, seorang guru yang sangat dihormati pengetahuan Islam. Nu Raden Kagok Katalayah Seda Lencing The Sakti, di makamnya di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengendalikan pengetahuan kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Nenek  Mudik Batara Karang, di makam di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, di makamnya di Master Mataram Yogyakarta keterampilan sains yang biasa-biasa saja atau kekayaan. Sunan Gunungjati, di makamnya di Cirebon menguasai ilmu pertanian.
Keunikan dari Desa ini terletak pada keseragaman rumah, arah yang mereka hadapi, rancangan, dan bahan bangunan. Semua Gables rumah wajah sungai dan selaras sepanjang sumbu timur-barat. Bahan atap untuk atap adalah ijuk (gula-serat kelapa). Tidak ada sepeda motor atau kendaraan lain didalam atau dekat desa. Jalur sempit diantara rumah-rumah yang terbuat dari batu bulat kasar, sebagaimana mempertahankan dinding dan tangga yang menuju ke bagian atas desa. Tidak ada listrik di Kampung Naga, dan bahkan penggunaan kaca jendela sangat baru-baru ini. Rumah yang ada di Kampung Naga baru saja lebih dari seratus rumah dan banyak keluarga. Di pusat desa, tepat di samping ruang sidang, adalah sebuah warung kecil yang menjual barang-barang kerajinan yang terbuat dari bambu terbelah dengan harga sangat moderat. Yang  khusus dan penasaran adalah topi dilipat.
Bentuk bangunan di Kampung Naga baik sebagai rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan beras. Atapnya terbuat dari daun sagu kelapa, daun kelapa, atau injuk sebagai penutup bumbungan dengan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu, pintu-pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Juga tumpukan batu tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami khas arsitektur dan ornamen karena Desa Naga.
Kepala Adat, adalah orang yang bertanggung jawab urusan budaya tradisional, rumahnya tepat di bawah balai desa, di sana dapat kita dapatkan mengenai aspek-aspek budaya sunda yang lama masih terjaga karena dilestarikan di Kampung Naga . Diantaranya adalah prosesi bulanan kepada  kuburan desa, pendiri, sembah Dalem Singaparna, terletak di puncak bukit ke barat. Tradisi lain adalah festival disebut Pedaran dalam memori dari nenek moyang, melainkan diadakan setiap tahun selama bulan lunar dari Mulud (bulan Islam di mana Nabi Muhammad lahir). Pada tanggal 12 Mulud, senjata dan pusaka adalah ritual dibersihkan di sungai. Dilaporkan, pernah ada sebuah buku yang ditulis dalam bahasa Sansekerta yang berisi banyak detail sejarah dan budaya tertentu dari desa ini, tampaknya telah tewas dalam bentrokan antara fundamentalis Islam dan pasukan pemerintah di tahun 1956 ketika fundamentalis ingin membuat Jawa Barat sebagai negara Islam.
Kampung Naga yang merupakan daerah satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan sisanya digunakan untuk bidang pertanian panen dua kali setahun. Daya tarik wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari komunitas yang terletak di desa Naga. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern, agama Islam, tetapi masih mempertahankan adat tradisional yang kuat dari nenek moyang mereka. Seperti banyak upacara adat, upacara hari suci Islam seperti upacara bulan Mulud, atau dengan melakukan pedaran Alif (pembacaan Sejarah Leluhur). Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti acara, tunduk mematuhi aturan-aturan disana.
2. Letak Geografis
Secara administratif Kampung Naga termasuk Desa Legok Dage Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut 26 km jauhnya. Untuk sampai ke Kampung Naga dari jalan menuju Garut dan Tasikmalaya kita menuruni tangga yang telah berdinding (Sunda = sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak sekitar 500 meter. Kemudian, melalui jalur sepanjang sungai Ciwulan untuk sampai di Kampung Naga. Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di perbukitan Kampung Naga dari produktivitas tanah bisa dikatakan subur.
Di selatan penduduk di batasi oleh sawah dan di Utara dan Timur menarik garis dengan Sungai Ciwulan  yang sumber airnya berasal dari Cikuray, Gunung di daerah Garut. Jarak melalui layar dari Tasikmalaya, pergi ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Garut, jaraknya 26 kilometer.untuk menuju kampung naga kita akan menuruni tangga yang sudah menjadi bricked up (Sunda = sengked) sampai ke Ciwulan, sekitar tepi sungai dengan kemiringan 45 derajat dengan jarak sekitar 500 meter. Kemudian melewati jalur pinggiran sungai Ciwulan sampai ke Kampung Naga. Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga adalah perbukitan dengan produktivitas yang subur.
3.      Keadaan Penduduk
Masyarakat Kampung Naga berjumlah 316 jiwa yang terdiri dari 107 kepala keluarga dengan jumlah areal pemukiman Kampung Naga tidak akan diperluas apalagi menambah jumlah bangunan baru. Hal ini bukan ditabukan tapi semata-mata terbentur pada keterbatasan iahan yang tidak memungkinkan. Apabila dipaksakan disatu pihak akan menyita luas tanah atau sawah milik pribadi yang memang sangat sempit. Oleh karena itu, apabila ada warga Kampung Naga yang membangun rumah harus secara sukarela sadar sendiri dan iklas mencari tempat di luar Kampung Naga. Jadi tidak benar apabila ada orang yang mengatakan bahwa jumlah bangunan di kampung Naga harus seperti orang Baduy dalam di Cibeo, Kanekes, Kabupaten Lebak. Adapun yang disebut orang Naga (bukan suka Naga) yaitu baik yang domisili di Kampung Naga, maupun yang berdamisili di kampung-kampung sekitamya.
4.      Kependudukan Kampung Naga
Penduduk Kampung Naga terdiri dari 107 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk Kampung Naga 316 orang dan berdasarkan jenis kelaminnya penduduk Kampung Naga terdiri dari laki-laki 161 orang dan perempuan 155 orang. Sedangkan berdasarkan struktur umurnya yang dewasa (lebih dari 17 tahun) 283 orang dewasa dan 33 orang anak-anak (Monografi Desa Neglasasari, 2009). Selengkapnya dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Jumlah Penduduk Kampung Naga

No
Laki-laki
perempuan
jumlah
1
161 orang
155 orang
316 orang

 Komposisi penduduk Kampung Naga Tahun 2009 berdasarkan jenis kelamin (Figure 1 Sex Ratio of Kampong Naga People Year of 2009). Berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk Kampung Naga yang berjumlah 325 tersebut: tidak sekolah 111 orang, SD 184 orang, SLTP 6 orang, SLTA 8 orang, dan Perguruan Tinggi 7 orang (Monografi Desa Neglasari, 2009). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2
Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Naga

1.
Tidak sekolah
111
2.
SD
184
3.
SLTP
6
4.
SLTA
8
5.
Mahasiswa
7
Jumlah
316

 Dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tampak jelas bahwa tingkat pendidikan masyarakat Kampung Naga sangat rendah. Menurut beberapa kepala keluarga yang diwawancarai, kebanyakan masyarakat Kampung Naga berpendidikan rendah, bukan karena larangan adat untuk bersekolah tetapi karena keterbatasan biaya untuk menyekolahkan anaknya.
5.      Sistem Kemasyarakatan
            Sistem kemasyarakatan yang ada diteliti disini lebih terfokus kepada sistem atau lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di Kampung Naga. Sehingga  ada dua lembaga yang berjalan beriringan dan sejalan didalam menjaga dan melestarikan adat yaitu :
1. Lembaga Pemerintahan
            Lembaga pemerintahan ini terbentuk dan dijalankan dengan sistem demokrasi. Sehingga didalam proses pemilihan para pejabatnya dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku. Lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
         a. RT (Rukun Tetangga) dijabat oleh Bapak Isman.
         b. RW (Rukun Warga) dijabat oleh Bapak Okim.
         c. Kudus (Kepala Dusun) dijabat oleh Bapak Suharyo.
2. Lembaga Adat
            Lembaga adat yang ada di Kampung Naga tidak jauh berbada dengan lembaga-lembaga adat yang ada di daerah lain. Dimana didalam proses pengangkatan dan penetapan para pengurus adat tidak dilakukan pemilihan secara demokratis melainkan dipilih secara turun-temurun. Lembaga adat yang ada di kampung naga diantaranya sebagai berikut :
a. Kuncen dijabat oleh Bapak Ade Suherlin dengan tugas sebagai pemangku adat  dan memimpin upacara adat dalam berziarah.
b. Punduh pejabat oleh Bapak Ma’mun.
c. Lebe dijabat oleh Bapak Ateng dengan tugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam.

4. Sistem Bahasa
Kehidupan warga Kampung Naga yang masih tradisional ini, dalam berkomunikasi warga Kampung Naga mayoritas menggunakan bahasa Sunda Asli, hanya sebagian orang dalam arti yang duduk di pemerintahan saja yang bisa berbahasa Indonesia dan sebagian masyarakat itupun masih terlihat kaku dalam pengucapannya.
5. Sistem Pendidikan
Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula.
6. Sistem Keagamaan
a. Pengaruh Hindu Budha
Tidak bisa dipungkiri pengaruh Hindu Budha masih tetap ada dan terlihat sampai sekarang contohnya pada saat acara-acara khusus selalu menggunakan kemenyan yang bisa menimbulkan asap yang baunya khas.

b. Pengaruh Islam
Pengaruh Islam masih sangat jelas sekali dan masih paling banyak contohnya dilihat dari segi pakaian, tingkat peribadatan dan tempat peribadatan.
c. Hari-Hari Raya
Dalam kurun waktu satu tahun terdapat enam kali upacara adat atau hari raya (berziarah) yang dilaksanakan oleh warga masyarakat Kampung Naga diantaranya :
1.  Bulan Muharam untuk menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah.
2. Bulan Maulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
3.  Bulan Jumadil Akhir untuk memperingati pertengahan bulan Hijriah.
4. Bulan Nisfu Sya’ban untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
5. Bulan Syawal untuk menyambut datangnya Idul Fitri.
6. Bulan Zulhijah untuk menyambut datangnya Idul Adha.
7. Sistem Perekonomian
Dalam meneliti sistem perekonomian masyarakat Kampung Naga,  peneliti menfokuskan kepada mata pencaharian masyarakat dimana mata pencaharian warga Kampung Naga bermacam-macam mulai dari pokok yaitu bertani, menanam padi sedangkan mata pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak dan berdagang.
8. Sistem Politik Lokal Yang Terbangun
Dalam mengkaji sistem politik yang ada di Kampung Naga ini, peneliti memfokuskan pada proses pemilihan ketua adat dimana dalam sistem politik ini kami tekankan pada pemilihan ketua adat yaitu dengan cara bermusyawarah untuk mufakat dimana yang dijadikan kandidat yang akan duduk di pemerintahan adat adalah orang-orang yang dianggap berpengalaman dan berpengetahuan tinggi dalam bidang-bidang yang ada tentunya kandidat-kandidat tersebut merupakan keturunan dari pengurus sebelumnya.
B. Kerakteristik Informan
Indikator yang digunakan dalam menentukan identitas informan dalam penelitian ini adalah para pengurus adat, aparatur pemerintahan setempat, masyarakat Kampung Naga lebih jelasnya mengenai identitas informan dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.
B.1 Pengurus Adat
Para pengurus adat dipilih menjadi informan dalam penelitian ini karena dianggap sangat mengetahui mengenai keberlangsungan kehidupan bermasyarakat dan perkembangan adat yang ada di Kampung Naga. Berdasarkan data yang diproleh dapat diketahui bahwa struktur adat dan para pengurus yang ada di Kampung Naga tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.
Pengurus Adat

No
Nama
Jabatan
Tugas
1.
Bpk.Ade Suherlin yang kemudian disebut (AD)
Kuncen (Ketua Adat)
Bertugas sebagai pemangku Adat yang bertanggung jawab atas keberlangsungan dan terjaganya kelestarian adat
2.
Bpk. Henhen yang kemudian disebut (H)
Wk.Kuncen
Bertugas mendampingi dan mewakili tugas kuncen apabila kuncen sedang ada keperluan
3.
Bpk. Ateng yang kemudian disebut (A)
Lebe
Bertugas dalam proses keagamaan terutama mengenai pengurusan jenazah
4.
Bpk. Ma’un yang kemudian disebut (Ma)
Punduh
Bertugas dalam ngurus laku meres gawe

B.2 Aparatur Pemerintahan Setempat
Aparatur pemerintahan dipilih sebagai informan karena dianggap berperan penting dalam proses menjaga kelestarian adat serta didalam proses pendidikan politik bagi masyarakat Kampung Naga. Aparatur pemerintahan yang dijadikan informan dalm penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 4.
Aparatur Pemerintahan

No.
Nama
Jabatan
1.
Bpk. Sobirin yang kemudian disebut (So)
Kepala desa (Desa Neglasari)
2.
Bpk Isman (Nana) yang kemudian disebut (I)
Ketua RT
3.
Bp. Okim yang kemudian disebut (O)
Ketua RW
4.
Bpk. Suharyo yang kemudian disebut (S)
Kepala Dusun

B.3 Masyarakat Kampung Naga
Dalam menentukan informan begi masyarakat Kampung Naga, peneliti memilih dengan cara purposive sampling dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap mengetahui dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Maka diambil beberapa perwakilan masyarakat yang dianggap mewakili warga Kampung Naga secara keseluruhan. Perwakilan masyarakat yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah disesuaikan dengan perwakilan tua, muda, pria dan wanita. Yang diantaranya adalah :
Tabel 5.
Masyarakat Setempat

No.
Nama
Jenis kelamin
Pekerjaan
1.
Bpk.Danu yang kemudian disebut (D)
Laki-laki
Petani
2.
Ibu. Rohillah yang kemudian disebut (R)
perempuan
Ibu rumah tangga
3.
Marlina yang kemudian di sebut (M)
perempuan
Mahasiswi
4.
Doni yang kemudian disebut (Do)
Laki-laki
Pelajar
 
C. Hasil Penelitian
C.1. Budaya politik masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung Naga adalah masyarakat yang hidup dengan pola kesederhanaan bersikap, berpikir dan dalam kehidupan bersosial lainnya. Sehingga masyarakat Kampung Naga menjadi salah satu daerah yang eksotik dalam kajian sosial budaya. Karena dilihat dari sejarah yang berkembang di Kampung Naga menunjukan bahwa bagaimana warga Kampung Naga dengan sikap keramah tamahannya serta tanggung  jawab yang ada pada setiap warga Kampung Naga telah cukup berhasil mempertahankan tradisi-tradisi yang secara turun-temurun dilestarikan dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Bentuk rumah yang khas menjadi salah satu bukti sejarah yang masih murni terjaga separti yang dicontohkan oleh nenek moyangnya. Sehingga rumah-rumah yang ada di Kampung Naga tersusun rapi dengan ketentuan-ketentuan yang mereka percaya. Seiring dengan kebudayaaan yang berkembang pada masyarakat Kampung Naga, kehidupan sosial kemasyarakatan pun mulai menunjukan kemetangan warga Kampung Naga didalam memahami perkembangan jaman. Hal itu terlihat dari berbagai jenis alat elektronik yang sudah beredar dan digunakan oleh warga Kampung Naga seperti radio, televisi, meskipun hanya memanfaatkan aliran listrik dari accu, bahkan tidak sedikitpun yang sudah menggunakan hand pone.
Selain itu jenjang pendidikan yang dienyam warga Kampung Naga sudah mulai keluar dari belenggu  kebodohan dan kemiskinan, hal itu bisa kita lihat dari beberapa anak-anak Kampung Naga yang melanjutkan sekolahnya kejenjang yang lebih tingi bahkan ada beberapa yang diantaranya sampai kejenjang perguruan tinggi. Dengan demikian warga Kampung Naga sekarang sudah jauh cerdas dari apa yang terpikirkan pada masyarakat minoritas atau masyarakat adat pada umumnya. Sehingga hal itu berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan perekonomian warga Kampung Naga yang terutama mayoritas penduduknya memiliki usaha bertani.
Dari uraian singkat di atas, ketika kita berbicara masalah budaya politik tentunya tidak akan terlepas dari tinjauan perilaku dan pertisipasinya terhadap fenomena-fenomena politik yang berkembang baik dalam sekala lokal maupun nasional. Maka demi mengetahui budaya politik yang berkembang pada masyarakat Kampung Naga, peneliti melakukan penelitian langsung kelapangan dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi langsung. Sehingga data-data yang didapat sesuai dengan apa yang terjadi di lokasi penelitian tersebut. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada para informan bisa kita lihat pada matrik berikut ini :
Table 6.Matrik pertanyaan
Bagaimana persepsi anda terhadap budaya Kampung Naga ini?

No
Nama Informan
Jenis kelamin
Jabatan
jawaban
1.
Bpk.Ade Suherlin (AD)
Laki-laki
Ketua adat
Kampung Naga teh hiji kampung nu ngamumule adat jeung tradisi nu diwarisken ku karuhun sacara turun-temurun ka generasi piken dijaga kaaslianna supaya aya dina kasaimbangan tur kabarokahan warga kampung naga. Dalam (Kampung Naga yaitu satu kampung yang bisa menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya secara turun-temurun ke setiap generasi untuk dijaga kemurniannya supaya selalu ada keseimbangan serta keberkahan bagi warga kampung naga tersebut).
2.
Bpk. Henhen (H)
Laki-laki
Wk.ketua Adat
Kampung naga teh kampong adat nu kenteul jeung kabudayaan sunda nu dijaga sacara turun –temurun pikeun neraskan titah sinareng pituah karuhun. (Kampung Naga yaitu kampung adat yang kental dengan kebudayaan sunda yang dijaga secara turun teurun dengan tujuan meneruskan ajaran dan tuntunan para leluhurnya)
3.
Bpk. Ateng (A)
Laki-laki
Lebe
Kampung naga nyaeta kampung nu bener-bener asli kabudayaan sunda jeung kentel ku ajaran agama pikeun nangerken adat jeung syiar agama. (Kampung Naga yaitu kampung yang betul-betul asli dari kebudayaan sunda dan sangat kental dengan norma-norma agama dengan harapan melestarikan adat dan syiar agama ).
4.
Bpk. Ma’un (Ma)
Laki-laki
Punduh
Kampung naga teh salah sahiji kampung nu masih bisa ngaja tur melihara adat tradisi karuhan sahingga sagala tingkah laku sareng paripolah warga kampung naga moal lepas ti aturan-aturan nu diwariskeun ku karuhun sacara turun temurun. (Kampung Naga yaitu salah satu kampung yang masih bisa menjaga serta memelihara adat tradisi dari leluhur sehingga segala aktivitas dan perilaku warga kampung naga tidak akan lepas dari aturan-aturan yang diwariskan oleh leluhurnya secara turun-temurun)
5.
Bpk. Sobirin (So)
Laki-laki
Kepala Desa
Kampung naga adalah salah satu kampung yang ada di daerah desa Neglasari yang memiliki cirri khas yang unik dan berbeda dengan kampung-kampung lain yang ada di daerah lain. Keunikan dari kampung naga terletak pada sistem kemasyarakatan dan adat tradisi yang masih kental dengan nuansa-nuansa mistis tetapi sangat kental dangan nilai-nilai religi.
6.
Bpk.Isman/ (Nana) (I)
Laki-laki
Ketua RT
Kampung Naga teh hiji kampung nu pinuh ku pendidikan dina masalah kebudaayaan asli sunda nu bisa dijadiken eunteung pikeun anak-anak muda yen kabudayaan sunda teh saperti nuaya di Kampung Naga. (Kampung Naga yaitu kampung yang penuh dengan nuansa pendidikan dalam masalah kebudayaan asli sunda yang bisa dijadikan cermin bagi anak-anak muda bahwa kebudayaan sunda itu seperti yang ada di Kampung Naga).
7.
Bp. Okim (O)
Laki-laki
Ketua RW
Kampung naga merupakan kampung yang unik jika dilihat dari sisi kebudayaan tetapi menjadi hal biasa jika dilihat dari sisi yang lainnya karena tidak jauh berbada dengan masyarakat alin yang ada di luar kampong naga. Kebudayaan kampung naga yang paling menonjol adalah kesederhanaan dalam berprilaku dan bermasyarakat yang menjungjung tinggi persamaan diantara warganya, sehingga tidak akan pernah terjadi kesenjangan antar warga yang ada di Kampung Naga.
8.
Bpk. Suharyo (S)
Laki-laki
Kepala dusun
Kebudayaan Kampung Naga nu paling dijaga tur dilestariken nyaeta pola hirup masyarakat nu sajajar tur ngajungjung nilai-nilai nu diwarisken ku karuhun terdahulu. (kebudayaan Kampung Naga yang paling menonjol adalah pola hidup masyarakat yang sejajar serta menjungjung nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur yang terdahulu)
9.
Bpk. Danu (D)
Laki-laki
Masyarakat
Kampung Naga teh kampung na urang sunda nu bisa ngajaga kaasliaan tradisi jeung bahasa sunda nupinuh ku keasederhanaan pikeun ngarawat kamasyarakatan nu aman tentram tur sauyunan. (kampung Naga yaitu kampungnya orang sunda yang bisa menjaga keaslian tradisi dan bahasa sunda yang penuh dengan kesederhanaan demi merawat kemasyarakatan yang aman, tentram serta sejajar)
10.
Ibu .Rohillah (R)
perempuan
Masyarakat
Kampung Naga mah kampung biasa nu teu tebih sareng kampung nusanes mung nu saalit bentena mah dina bentuk bumi nu sami tur kahirupan nu sederhana. (Kampung Naga yaitu kampung biasa yang tidak jauh berbeda dengan kampung-kampung lain, tetapi yang menjadi sedikit perbedaannya adalah dari bentuk rumah yang sama serta pola kehidupan yang sederhana).
11.
Marlina (M)
perempuan
Mahasiswi
Kebudayaan Kampung Naga bisa kita lihat sebagai warisan leluhur yang menjungjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan diantara warganya, sehingga tercipta masarakat Kampung Naga yang aman, tentram yang selalu kuat memegang teguh adat dan tradisinya.
12.
Doni (Do)
Laki-laki
Pelajar
Kebudayaan Kampung Naga adalah kebudayaan yang unik yang bisa membentengi diri dari pengaruh-pengaruh modernisasi meskipun letak geografis yang berdampingn dengan masyarakat lainnya.

C.1.a. Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap para informan mengenai kebudayaan yang ada di Kampung Naga dapat kita bahas dari apa yang mereka sampaikan kepada peneliti dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang ada di Kampung Naga merupakan kebudayaan warisan dari leluhurnya yang senantiasa dijaga dan dilestarikan oleh warga Kampung Naga secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Kebudayaan yang khas dari masyarakat Kampung Naga adalah bentuk rumah yang sama dengan keunikan-keunikan tersendiri dan yang menarik lainnya adalah Kampung Naga merupakan kampung yang betul-betul menjungjung tinggi nilai-nilai yang diwariskan para leluhurnya meskipun arus modernisasi terus menyeret mereka dari berbagai arah. Selain itu hal menarik lainnya dari kebudayan masyarakat Kampung Naga dipercaya sebagai kebudayaan asli orang sunda, sehingga tidak salah orang mengatakan bahwa jika kita ingin mengenal kebudayaan asli orang sunda, kita bisa belajar pada warga Kampung Naga. Bahkan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tidak segan menyebut Kampung Naga sebagai tempat wisata budaya sunda bahkan dalam kurun waktu yang belum lama pemerintah meresmikan salah satu simbol kebudayaan sunda yang ditanam tepat di depan area masuk Kampung Naga yaitu Kujang raksasa yang dijadikan simbol bahwa Kampung Naga adalah salah satu daerah yang khas dengan kebudayaan sunda.
Dengan didirikannya Kujang raksasa itu jelas bahwa masyarakat Kampung Naga dikenal dengan nilai-nilai budaya sunda yang dikenal dengan kesantunan dan keramah-tamahan warganya. Sehingga para pengunjung yang datang ke Kampung Naga dengan bebas bisa mempelajari dan mengkaji kebudayaan asli masyarakat tersebut. Keramah-tamahan mereka terhadap para wisatawan menjadi salah satu ciri bahwa mereka merupakan komunitas masyarakat yang yang unik dengan segala kesederhanaan yang ada dan itu adalah kebudayaan yang asli yang dirurunkan secara turun-temurun oleh leluhur mereka.
Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa kebudayaan yang ada di Kampung Naga adalah kebudayaan asli orang sunda. Karena dapat kita perhatikan dari pola hidup mereka yang sederhana dan bahasa yang digunakan adalah bahasa asli sunda serta keramah-tamahan yang mereka tunjukan menjadi penguat bahwa kebudayaan yang berkembang di kampung naga adalah kebudayaan sunda.  
Disamping memperhatikan mengenai persepsi para informan terhadap kebudayaan yang ada di Kampung Naga, peneliti juga menanyakan hal-hal mengenai persepsi para informan terhadap perkembangan perpolitikan yang berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap para informan dapat dirumuskan jawaban-jawaban mereka dalam sebuah matrik sebagai berikut :
Table 7. Matrik Pertanyaan
Bagimana persepsi anda mengenai perpolitikan bangsa Indonesia saat ini?

No
Nama Informan
Jenis klelamin
Jabatan
jawaban
1.
Bpk.Ade Suherlin (AD)
Laki-laki
Ketua adat
Saur simkuring mah politik Indonesia tos cukup maju sabab bisa diraosken langsung ku masyarakat alit, tapi meskipun demikian hal eta tetep teu mangaruhan kana jalanna kabudayaan nu aya di Kampung Naga.  Sabab saur simkuring mah da rakyat mah mung apal ngajalanken parentah bari teu apal saha nu nyekel jeung bakal kumaha dina nyekelna. Jadi warga Kampung Naga mah mung ngiring kana parentah tapi peduli saha wae atanpi kumaha wae kapayuna. (Menurut saya politik Indonesia sudah cukup maju karena bisa dirasakan langsung oleh masyarakat kecil, tetapi meskipun demikian hal itu tetap tidak mempengaruhi terhadap perjalanan kebudayaan yang ada di Kampung Naga. Karena menurut saya rakyat hanya tahu menjalankan perintah dan tidak tahu siapa yang memegang kekuasaan dan akan bagaimana dia menjalankannya. Jadi warga Kampung Naga cuma ikut saja terhadap aturan pemerintah dan tidak peduli siapa sajayang jadi pengusasa ataupun bagaimana kedepannya).
2.
Bpk. Henhen (H)
Laki-laki
Wk.ketua Adat
Mayunan perpolitikan nu aya di nagara urang saur simkuring mah ngan bisa lalajo wungkul da gening ek kumaha-kumaha oge da tetep masyarakat leutik mah moal dibawa-bawa ngan jadi alat wungkul keur para panguasa .(menghadapi permasalahan perpolitikan yang ada di Negara kita, menurut saya kita cuma bisa menonton saja karena mu gimana-gimana juga tetap masyarakat kacil tidak akan dibawa-bawa cuma jadi alat saja bagi para penguasa).
3.
Bpk. Ateng (A)
Laki-laki
Lebe
Saur simkuring mah sebagai rakyat leutik jadi serba salah da gening milu jeung teu milu kana proses politik oge geningan da bakal tetep jalan bari hasilna oge tara apal-apal jadina saha terus geus jadina kmaha. (menurut saya sebagai rakyat kecil menji serba salah karena ikut dan tidaknya kita terhadap proses perpolitikan, akan tetap berjalan meskipun hasilnya juga kita tidak tahu siapa yang jadinya dan yang sudah jadi akan bagaimana kedepannya).
4.
Bpk. Ma’un (Ma)
Laki-laki
Punduh
Saur bapak mah ngabanungan politik teh lieur nu penting mah kangge bapak mah saha wae nu nyekel sing amanah jeung tong nepikeun ka poho kana tugas jeng rakyat leutik. (Menurut bapak, memperhatikan politik itu pusing. Yang penting bagi bapak mah siapapun yang megang kekuasaan harus amanah dan jangan lupa terhadap tuga dan rakyat kecil).
5.
Bpk. Sobirin (So)
Laki-laki
Kepala Desa
Menurut saya perkembangan politik di Negara ini sudah cukup baik itu dapat kita lihat dari proses pemilihan wakil rayat dan pemimpin nya sampai ke daerah langsung dipilih oleh rakyat. Hal itu menunjukan semakin terbukanya bagi masyarakat untuk berperan lebih aktif dalam kenajuan bangsa ini. Namun yang perlu diperhatikan terutama bagi masyarakat adat seperti kampong naga ini adalah pendidikan politik yang masih kurang sehingga pemehaman warga mengenai proses politik masih sangat lemah dan itu akan berpengaruh terdap partisipasi mereka dalam keberlangsungan perpolitikan yang berkembang.
6.
Bpk.Isman/ (Nana) (I)
Laki-laki
Ketua RT
Saur abdi mah Indonesia the tos sakitu majuna tapi kangge warga alit mah nu pentingna dina kamajuan eta sing bisa mawa ka rakyat pikeun aya dina kasejahteraan tur kaamanan. (menurut saya Indonesia sudah cukup maju tetapi buat warga kecil yang penting dalam kemajuan itu harus bisa membawa rakyat supaya selalu ada dalam kesejahteraan serta keamanan).
7.
Bp. Okim (O)
Laki-laki
Ketua RW
Ah saur bapak mah sebagai warga adat Kampung Naga da angger ek kumaha-kumaha oge rakyat leutik mah ngan bisa lalajo wungkul moal matak bisa ngarobah kana nanaon nu aya di pamarentah. (ya menurut bapak sebagai warga adat Kampung Naga tetap teguh meskipun bagaimana juga rakyat kecil mah cuma bisa nonton saja sehingga tidak akan dapat merubah terhadap apa yang ada paa pemerintah).
8.
Bpk. Suharyo (S)
Laki-laki
Kepala dusun
Masalah politik, bapak mah teu ngarti ngan ceuk bapak mah warga Indonesia teh ges poho kana falsapah sorangan nyaeta pancasila, soalna nu katingali ayeuna-ayeuna mah para pajabat teh ngan inget ka masyarakat teh mun aya perluna wungkul giliran rakyat nu perlu hesena mani kacida. (Masalah politik bapak  gak begitu ngerti cuma menurut bapak warga Indonesia teh sudah lupa terhadap palsafah hidupnya sendiri yaitu pancasila, sebab yang terlihat sekarang-sekarang ini para pejabat itu cuma ingat terhadap masyarakat itu jika ada perlunya saja, sedangkan ketika rakyat yang perlu ssahnya sudah bukan lagi menjadi rahasia).
9.
Bpk. Danu (D)
Laki-laki
Masyarakat
Saur bapak mah politik Indonesia komo dina masalah pemilu mah ngan saukur  raramean pikeun nu baroga duit wugkul, sababa yeuna mah rakyat leutik ngan jadi alat pikeun parebutan kakuasaan para rakyat nu baroga duit. (menurut bapak politik Indonesia terutama masalah Pemilu Cuma jadi permainan para sebagian rakyat yang berlimpah harta saja, karena sekarang rakyat kecil cuma jadi alat untuk perebutan kekuasaan badi warga Negara yang berlimpah harta).
10.
Ibu .Rohillah (R)
perempuan
Masyarakat
Kangge ibu mah politik teu ngartos eta oge pami aya pemilu ngan saukur ngiringan bae bari teuteurang saha nu kudu dipilih da nupenting kangge ibu mah saha wae nu janten sing bisa jadi wawakil rakyat nu bener tur amanah. (bagi ibu politik kurang begitu mengerti itu juga kalau ada pemilu cuma sekedar ikut-ikutan saja dan tidak tahu siapa yang harus dipilih sebab yang penting bagi ibu siapapun yang jadi yang penting bisa jadi wakil rakyat yang bener dan amanah).
11.
Marlina (M)
perempuan
Mahasiswi
Perkembangan politik di Indonesia menurut saya kurang diimbangi dengan kecerdasan masyarakat serta sosialisasi yang tuntan mengenai pemehaman politik bagi rakayat kecil terutama masyarakat adat seperti kampong naga ini, sehingga tingkat pertisipasinya pun sangat rendah karena mereka kurang memahami posisi mereka sebagai bagian dari perpolitikan itu sendiri.
12.
Doni (Do)
Laki-laki
Pelajar
Perkembangan perpolitikan di Negara ini bagi masyarakat kampong naga adalah hal yang kurng menarik dibicarakan karena disatu sisi mereka menyadari bagian dari warga Negara yang harus ikut dalam perkembangan dan kemajuan bangsa ini tetapi disisi lain mereka memegang teguh adat an tradisi sehingga sampai saat ini tidak ada satupun dari warga kampong naga yang terlibat secara langsung alam proses perpolitikan yang berkembang ini.


C.1.b. Pembahasan
Dari penjelasan yang disampaikan oleh informan kepada peneliti dapat kita lihat persepsi warga Kampung Naga mengenai perpolitikan yang berkembang di Indonesia adalah berbagai persepsi yang mereka kemukakan. Dari hasil wawancara yang sempat dilakukan menegaskan bahwa mereka mengakui akan perkembangan perpolitikan yang berlangsung di negara Indonesia ini sudah cukup maju. Menurut mereka perkembangan perpolitikan bangsa ini sudah cukup maju hal itu terlihat dari perkembangan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa ini sehingga dalam proses pemilihan pimpinan negara bahkan sampai tingkatan daerah langsung dipilih oleh rakyat. 
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa kemajuan perpolitikan Negara Indonesia ini sudah sekian berubah dari apa yang mereka tahu sebelumnya. Namun meskipun demikian mereka beranggapan bahwa kemajuan yang ada kurang begitu terasa terhadap perubahan yang mereka inginkan. Hal ini diperjelas oleh mereka bahwa seberapa besar kemajuan perpolitikan yang ada tetap tidak merubah pada pola berpikir dan perilaku mereka sebagai bagian dari masyarakat adat yang kental dengan tradisi dan kebudayaan yang ada sejak para leluhurnya. Lebih dari itu perilaku politik masyarakat Kampung Naga yang peneliti amati dari beberapa aspek.
Perilaku politik merupakan produk sosial sehingga untuk memahaminya diperlukan dukungan konsep dari beberapa disiplin ilmu. Di dalam memahami perilaku politik tidak hanya menggunakan konsep politik saja, tetapi juga didukung konsep ilmu-ilmu sosial lainnya. Hal itu menunjukan bahwa ilmu politik tidak merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri tetapi memiliki hubungan erat dengan disiplin ilmu yang lainnya. Sehingga sebagai manifestasi sikap politik, perilaku politik tidak dapat dipisahkan dari budaya politik yang oleh Almond dan Verba diartikan sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga Negara didalam sistem itu. dengan demikian, memahami perilaku politik berarti menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan warga negara dalam sistem politik (Sudijono.1995 : 36).
Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat, pertama-tama perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis pada masa lalu dan sekaligus merupakan kesinambungan yang dinamis. Hal itu disebabkan bahwa budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah dan barkembang sepanjang masa.
Faktor yang memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat selanjutnya adalah kondisi geografis. Faktor geo-politik memiliki implikasi dalam perilaku politik masyarakat sekaligus mempengaruhinya. Indonesia yang merupakan wilayah dengan letak geografisnya yang potensial dapat merupakan pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan kerja sama dan hubungan dalam berbagai kepentingan. Di pihak lain faktor kemajemukan dan etnis merupakan hal yang rawan bagi terciptanya desintegrasi. Oleh karena itulah kondisi geografis merupakan pertimbangan yang penting dan mempengaruhi perilaku politik seperti pembuatan peraturan, dan sebagainya.
Faktor lain yang memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat adalah budaya politik. Budaya politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat bangsa itu. Berfungsingnya budaya politik itu pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa itu dan struktur politiknya.
Perilaku politik masyarakat selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, juga dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai-nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan dan agama apapun merupakan pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah-kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya.
Berdasarkan dari uraian diatas mengenai konsep-konsep dalam memperhatikan perilaku politik masyarakat, maka dalam hasil wawancara dengan para informan, peneliti mengungkapkan bahwa perilaku politik masyarakat Kampung Naga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah diuraikan diatas. Sehingga perilaku politik yang berkebang pada masyarakat adat seperti Kampung Naga ini sangat kental dengan pengaruh historis yang ditunkan secara turun temurun dan dikawal dengan norma-norma agama yang kuat dipegang oleh masyarakat tersebut.
Selain perilaku politik, didalam mengkaji budaya politik masyarakat adat Kampung Naga, peneliti juga memperhatikan tingkat partisipasi politik masyarakat tersebut. Didalam mempelajari tingkat partisipasi politik masyarakat Kampung Naga, peneliti menggunakan konsep Weimer yang dikutif oleh Sudiijono Sastroatmodjo (1995 : 81) yang mengemukakan teori mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, yang  diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Adanya modernisasi.
2. Terjadinya perubahan struktur-struktur kelas sosial.
3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa.
4. Adanya konflik pemimpin-pemimpin politik.
5.Keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan Sosial, Ekonomi, dan Kebudayaan.
Dari faktor-faktor itulah kita bisa melihat tingkat parisipasi politik masyarakat Kampung Naga yang berkembang sampai saat ini. Maka didalam menentukan jenis partisipasi politik masyarakat Kampung Naga, peneliti menggunakan teori yang diungkapkan oleh Milbrath dan Goel yang dikutif oleh Sudiijono Sastroatmodjo  (1995:74 -75) bahwa partisipasi politik terbagi dalam beberapa kategori yang diantaranya sebagai berikut :
1. Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.
2. Spektator, yaitu yang berada pada kategori pasif yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilu.
3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam prosses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai, dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.
4. Pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional seperti mengadakan demonstrasi, memberikan ancaman, mogok kerja dan sebagainya.
Maka berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti terhadap warga Kampung Naga mengenai bentuk partisipasi politik yang berkembang pada mereka adalah partisipasi politik spectator. Hal itu terlihat dari hasil penelitian peneliti terhadap warga dan ternyata setelah digali lebih mendalam, sebagian besar dari warga Kampung Naga bahkan bisa dikatakan seluruh warga disana mangikuti proses politik yang berkembang saat ini termasuk  dalam pemilihan umum. Namun meskipun mereka mengikuti proses pemilihan umum, mereka tetap berpendapat bahwa yang mereka lakukan bukan untuk mendukung atau tidak mendukung pihak manapun, dalam artian mereka bisa dimasukan pada partisipasi politik pasif.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa partisipasi politik masyarakat adat di Kampung Naga menguatkan teori yang diungkapkan oleh Milbrath dan Goel yang dikutif oleh Sudijono Sastroatmodjo (1995:74-75) yang menyebutkan bahwa salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat adalah spectator yaitu partisipasi politik yang termasuk pada kategori pasif namun setidak-tidanya  mereka mengikuti proses pemilihan umum.
Dengan demikian berdasarkan dari uraian-uraian diatas, maka dengan memperhatikan perilaku politik dan partisipasi politik masyarakat kita bisa menentukan jenis budaya politik yang ada dalam masyarakat tersebut. Demikian pula budaya politik  apa yang ada dan berkembang pada masyarakat Kampung Naga. Berdasarkan teori yang berkembang mengenai budaya politik terutama yang dikemukakan oleh Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagianya,  dan sikap terhadap peranan warga negara didalam sistem itu.
Orientasi politik masyarakat Kampung Naga hanya sebatas mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa di iringi dengan pemahaman yang cukup mengenai sistem maupun perjalanan perpolitikan bangsa ini. Hal itu bisa di lihat dari tingkat pemehaman masyarakat kampung naga dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap para informan terutama dari kalangan masyarakat. Ketika ditanya mengenai masalah sistem maupun proses politik yang terjadi mereka dengan polosnya menjawab hanya sebatas tahu dan mengikuti saja tanpa faham kenapa mereka harus mengikuti proses tersebut bahkan mereka tidak perduli bagaimanapun hasil dari semua proses tersebut. 
Seperti yang diungkapkan oleh ketua RT Kampung Naga bapak Isman bahwa dalam beberapa kali proses demokratisasi yang sudah dijalankan di negeri ini, bisa dikatakan 99% masyarakat Kampung Naga mengikuti proses politik tersebut. Namun dibalik keikutsertaan mereka tidak lebih dari sekedar ikutu saja, karena kebanyakan bahkan hampir semua warga mengikuti proses tersebut kurang memahmi apa, siapa dan untuk apa proses politik tersebut dilakukan. Karena mereka menganggap siapapun yang mereka pilih atau siapapun yang terpilih tidak akan merubah sikap, sifat dan adat mereka.
Maka budaya politik yang berkembang pada masyarakat Kampung Naga berdasarkan dari sikap perilaku politik dan partisipasi politik yang ada pada mereka, maka peneliti menyimpulkan bahwa budaya politik yang ada pada masyarakat Kampung Naga termasuk kedalam kebudayaan politik subjek parokial (The Parochial Subject Cultur). Tipe budaya politik seperti ini merupakan campuran dari budaya politik parokial dengan budaya politik subjek. Dimana orientasi dalam tipe ini lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. Hal itu dibuktikan dengan masih kentalnya nuansa-nuansa tradisionalisme yang disertai dengan tradisi-tradisi leluhur yang melekat kuat pada diri warga masyarakat Kampung Naga. Tetapi disisi lain tingkat partisipasi politik mereka juga cukup kuat terbukti dengan  keikut sertaannya mereka pada proses-proses pemilihan umum baik tingkat lokal maupun nasional. Meskipun partisipasi politik masyarakat Kampung Naga temasuk pada kategori partisipasi politik pasif.
Budaya politik seperti ini terjadi karena didalamnya terdapat individu-individu yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Dengan demikian hal itu berarti bahwa warga yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek. Oleh karena itu , dapat ditegaskan bahwa orientasi warga Kampung Naga menggusur orientasi subjek dan parokial. 
C.2. Pengaruh kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur Kampung Naga terhadap budaya politik saat ini.
Membicarakan mengenai pengaruh dari kebudayaan yang berkembang  terhadap budaya politik  masyarakat Kampung Naga dapat kita pelajari dari keseharian warga Kampung Naga serta pandangan mereka terhadap fenomena politik yang terjadi di negara ini. Mereka berpandangan bahwa perjalanan kebudayaan ini adalah sebuah anugrah yang diwariskan oleh leluhur mereka secara turun-temurun. Jadi perkembangan kebudayaan yang ada di Kampung Naga jelas-jelas murni dari kehidupan keseharian warga kampung naga yang sudah ada sejak jaman para leluhurnya.
Berdasarkan hal di atas maka peneliti melakukan wawancara mendalam demi mengetahui dan memahami persepsi masyarakat Kampung Naga mengenai pengaruh kebudayaan terhadap budaya politik yang berkembang disana. Maka dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Table 8 Matrik Pertanyaan
Pengaruh kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur Kampung Naga terhadap budaya politik saat ini.

No
Nama Informan
Jenis kelamin
Jabatan
Jawaban
1.
Bpk.Ade Suherlin (AD)
Laki-laki
Ketua adat
Kabudayaan nu aya di kampung naga tos aya di jaman karuhun jeng tetep jalan saperrti nu diwarisken sacara turun temurun. Jadi pami disangkutkeun sareng budaya politik nu aya di kampung naga jelas kabudayaaan mawa pangaruh pisan kana sikap jeung cara mmikir warga kampung naga, sabab warga kampung naga bakal tetep merhatikken nilai-nilai nu tos jadi tuntunan hirup sapopoena. (kebudayaan yang ada di Kampung Naga sudah ada sejak jaman nenek moyangnya yang diwariskan secara turun temurun. Jadi jika dikaitkan dengan budaya politik yang ada di Kampung Naga jelas sangat berpengaruh terhadap sikap dan cara pandang warga Kampung Naga. Sebab warga Kampung Naga akan tetap memperhatikan nilai-nilai yang sudah menjadi tuntunan hidup sehari-harinya).
2.
Bpk. Henhen (H)
Laki-laki
Wk.ketua Adat
Menurut simkuring mah budaya politik nu aya di kampung naga jeles-jelas dipangaruhan ku kabudayaan nu tos berjalan sampai ayeuna sabab warga kampung naga tetep merhatiken adat jeung tradisi nu aya di kampung naga. Nu intina teu aya perubahan kusabab perubahan politik nu aya. (menurut saya budaya politik yang ada di kampung naga sudah jelas dipengaruhi oleh kebudayaan yang sudah berjalan sampai sekarang sebab warga kampung naga tetap memperhatikan adat dan tradisi yang ada dikampung naga. Yang intinya tidak ada perubahan yang disebabkan oleh perubahan politik).
3.
Bpk. Ateng (A)
Laki-laki
Lebe
Saur abdi mah jelas budaya politik masyarakat kampung naga dipengaruhan ku kabudayaan asli warga kampung naga. (menurut saya sudah jelas budaya politik masyarakat kampung naga dipengaruhi oleh kebudayaan asli warga kampung naga).
4.
Bpk. Ma’un (Ma)
Laki-laki
Punduh
Budaya politik masyarakat kampung naga tibaheula dugikeun ka ayeuna berjalan sauyunan jeung perkembangan kabudayaan nu aya di kampung naga, dina artian budaya politik masyarakat adat kampung naga moal leupas tina perjalanan kabudayaan nu aya di kampung naga. (budaya politik masyarakat kampung naga dari dulu hingga sekarang berjalan beriringan dengan kebudayaan yang ada di kampung naga, dalam artian budaya politik masyarakat adat kampung naga tidak akan lepas dari perjalanan kebudayaan yang ada di kampung naga).
5.
Bpk. Sobirin (So)
Laki-laki
Kepala Desa
Pengaruh dari kebudayaan sangat kuat bagi keberlangsungan budaya politik yang berkembang pada masyarakat adat kampung naga karena masyarakat kampung naga sangat kuat memegang teguh adat dan trdasi asli dari leluhurnya.
6.
Bpk.Isman/ (Nana) (I)
Laki-laki
Ketua RT
Saur simkuring memang budaya politik masyarakat kampung naga terus berkembang maju sairing perplotikan nu aya di pamarentah,tapi kamajuan budaya politik masyarakat kampung naga moal leupas ti perkembangan budaya asli masyarakat kampung naga. (menurut saya memeng budaya politik masyarakat kampung naga terus berkembang maju seiring dengan kemajuan perpolitikan yang ada pada pemerintah, tetapi kemajuan budaya politik masyarakat kampung naga tidak akan lepas dari permbengan kebudayaan asli masyarakat kampung naga).
7.
Bp. Okim (O)
Laki-laki
Ketua RW
Kabudayaan asli orang kampung naga bakal tetep dijaga tur dilestarikeun ku wargana sakalipun politik nu terus berkembang terus nyeret warga pikeun ngarobah sikap jeung tingkah warga, jadi jelas kabudayaan asli boga pangaruh nu kuat pikeun kam,ajuan budaya politik. (kebudayaan asli orang kampung naga akan tetap dijaga dan dilestarikan oleh warganya meskipun politik terus berkembang dan terus menyeret warga untuk merubah sikap dan perilaku warga, jadi jelas kebudayaan asli punya pengaruh yang kuat bagi kemajuan budaya poitik)
8.
Bpk. Suharyo (S)
Laki-laki
Kepala dusun
Kebudayaan warga kampung naga yang terus lestari dengan kesederhanaannya akan terus terjaga meskipun proses politik bangsa terus berkembang. Dari hal itu menurut saya sudah bisa dipastikan bahwa budaya politik nu berkembang di kampung naga sangat dipengaruhi oleh kuatnya kebudayaan warga kampung naga.
9.
Bpk. Danu (D)
Laki-laki
Masyarakat
Ah saur bapak mah nu penting kabudayaan asli tetep kajaga. Rek kumaha-kumaha bae nu namina politik mah nupenting ulah nepikeun ka ngarobah kana kabudayaan nu aya. (ya menurut bapak yang penting kebudayaan asli tetep terjaga. Mau gimanapun yang namanya politik yang penting jangan sampai merubah terhadap kebudayaan yang ada)
10.
Ibu .Rohillah (R)
perempuan
Masyarakat
Saur ibu mah teu pati ngartos masalah budaya politik teh mung nu aya dina emutan ibu mah masyarakat didieu mah moal enag ku angin nu sakaba-kaba. (menurut ibu mah kurang begitu mengerti masalah politik itu Cuma yang ada dalam pikran ibu , masyarakat disini itu tidak akan goyang terhadap perubahan yang tidak jelas).
11.
Marlina (M)
perempuan
Mahasiswi
Bicara mengenai budaya politik tentunya kita melihat keseharian masyarakat itu sendiri. Berdasarkan hal itu mengenai masyarakat kampung naga dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik sangat kuat memegang teguh adat dan tradisi yang sudah menjadi keseharian warga kampung naga tersebut.
12.
Doni (Do)
Laki-laki
Pelajar
Bagi saya kebudayaan merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap budaya politik yang berkembang karena kebudayaan yang dijalankan oleh masyarakat kampung naga sudah berjalan begitu lamanya sejak jaman para leluhur dulu. Sehingga perkembangan mengenai budaya politik pun berjalan beriringan dengan kuatnya kebudayaan para leluhur.


C.2.a. Pembahasan
Kampung Naga merupakan sebuah potret kehidupan yang tampak spesifik dan khas dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kampung Naga yang begitu kukuh memegang falsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, tampak tak bergeming terhadap apa yang terjadi di luar kehidupan mereka. Padahal sebagaimana kita ketahui pada era globalisasi yang melanda seluruh dunia seperti sekarang ini, sungguh tidaklah mudah untuk menepis dan menyeleksi berbagai unsur budaya luar yang masuk ke dalamnya. Modernisasi pada berbagai aspek kehidupan pun tidak bisa dielakkan lagi, terjadi baik disengaja maupun tidak. Meskipun gelombang modernisasi melanda berbagai kelompok masyarakat, tak terkecuali masyarakat yang berada di sekitar perkampungan masyarakat Kampung Naga, tidak berarti mereka pun harus hanyut di dalamnya. Mereka tetap hidup sebagaimana adanya dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas.
Keteguhan mereka dalam memegang akar budaya yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Kampung Naga, teraktualisasikan melalui berbagai aspek kehidupan seperti dalam sistem religi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kemasyarakatan yang semuanya terangkum ke dalam sistem budaya masyarakat Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga juga mempercayai bahwa benda-benda pusaka peninggalannya mempunyai kekuatan magis. Benda-benda pusaka itu disimpan di tempat suci atau Bumi Ageung yang merupakan bangunan pertama yang didirikan di Kampung adat Naga. Selanjutnya, dari masa ke masa bangunan tersebut dirawat serta diurus oleh seorang wanita tua yang masih dekat garis keturunannya. Meskipun penduduk Kampung Naga dan sa-Naga adalah penganut agama Islam yang taat, mereka pun tetap memegang teguh adat istiadat yang telah turun temurun. Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, mereka menjalankan dan memelihara adat istiadat itu. Kendati pun mereka dianggap sebagai masyarakat yang teguh memegang adat istiadat, masih memungkinkan bagi mereka untuk menerima pengaruh dari luar sepanjang tidak merusak atau mengganggu kehidupan adat istiadat warisan budaya nenek moyang mereka. Mereka mempunyai pancen untuk memelihara dan melestarikan budayanya. Apabila dilanggar, berarti durhaka kepada nenek moyang yang seharusnya mereka junjung tinggi. Mereka mengatakan sieun doraka ‘takut durhaka’.
Dari uraian di atas, mengenai salah satu kampung adat, yaitu Kampung Adat Naga yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, kita dapat mengetahui bahwa unsur-unsur kebudayaan (sistem pengetahuan) yang dimiliki suatu komunitas masyarakat kecil akan berbeda bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang bersifat kaku atau statis. Demikian pula pengertian tentang kebudayaan, bukan lagi sebagai sekumpulan barang seni atau benda-benda, tapi kebudayaan akan selalu dikaitkan dengan gerak hidup manusia dalam kegiatannya, seperti membuat peralatan hidup, norma-norma, sistem pengetahuan, sistem jaringan sosial, kehidupan ekonomi, sistem religi atau kepercayaan, adat istiadat, serta seperangkat aturan yang masih didukung oleh masyarakat tersebut.
Selanjutnya, bahwa kehidupan di seluruh masyarakat kampung adat yang ada di Jawa Barat, memang terlihat agak eksklusif dibanding dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka masih melakukan tradisi kehidupan yang sederhana sesuai dengan pedoman hidupnya. Sehingga wujud kebudayaan yang spesifik sangat berpengaruh pada pola-pola kehidupan, bahkan menjadi pedoman bagi kelangsungan hidup anggota masyarakatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat kampung-kampung adat yang terkurung oleh gelombang modernisasi, tidak membiarkan diri hanyut di dalamnya. Mereka berupaya mempertahankan eksistensinya melalui kekuatan spiritual, seperti yang tercermin dalam norma-norma yang dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Secara tidak sadar mereka mengaktualisasikan diri melalui sistem pengetahuan tradisional yang menjadi dasar dan pedoman akan kesadaran moral, keyakinan religius, kesadaran nasional, dan kemasyarakatan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengetahuan suatu masyarakat, merupakan identifikasi dari tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki masyarakat tersebut. Maka dengan demikian sistem pengetahuan dapat pula dijadikan barometer bagi tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Hal itu disebabkan karena sistem pengetahuan merupakan aktualisasi dari segala sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang secara empiris dapat dirasakan, dilaksanakan, dilestarikan, dan dipedomani sebagai sesuatu yang dapat memberikan keseimbangan dalam kehidupannya. Sistem pengetahuan ini pun mengatur seluruh aktivitas hidup dan kehidupan untuk keseimbangan dan berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakatnya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, sistem pengetahuan suatu masyarakat tercakup dalam segala aspek yang mengatur hidup dan perilaku manusia.
Begitu pula sistem pengetahuan yang ada dan dimiliki oleh masyarakat adat Kampung-kampung adat di Jawa Barat, adalah merupakan manifestasi dan aktualisasi dari seluruh aktivitas masyarakatnya dalam berinteraksi untuk mencari keseimbangan baik dirinya, orang per orang, maupun orang dengan alam sekelilingnya. Bahkan di samping itu, sistem pengetahuan ini dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi arus budaya luar yang mencoba memasuki wilayah budaya miliknya. Dengan kata lain bahwa pengetahuan mengenai pamali, teu wasa, buyut, atau tabu yang berlaku di kampung-kampung adat merupakan salah satu bentuk penyeimbang dalam berinteraksinya. Pandangan mengenai masyarakat kampung adat adalah masyarakat yang kuat memegang tradisi warisan nenek moyangnya adalah benar, tetapi masyarakat kampung adat tersebut tidak mengisolir diri dari masyarakat di sekitarnya, mereka bersama-sama dengan anggota masyarakat lain ikut berpartisipasi secara aktif. Mereka berintegrasi dengan masyarakat lainnya terutama dalam kepentingan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama pula.
Ketentuan-ketentuan adat seperti pamali, tabu atau lebih dikenal lagi dengan sebutan pantangan dan sebagainya hanya berlaku bagi orang-orang di lingkungan kampung adat sendiri. Bentuk-bentuk penyeimbang lainnya dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya khususnya untuk Kampung Naga, seperti yang tertuang dalam tiga kata : amanat, wasiat, dan akibat. Ketiga ungkapan ini adalah bentuk pengetahuan yang harus ditaati, dilaksanakan, dan dipedomani sebagai ajaran yang mengandung kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupannya. Ketiga ungkapan itu mengandung fungsi nilai-nilai filosofis di samping fungsi sosial dan fungsi nilai religius.
Kampung-kampung adat di Jawa Barat yang memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, kukuh dalam memegang falsafah hidup, tak bergeming akan perubahan jaman; di mana gelombang modernisasi dan globalisasi yang terus melanda. Arus modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan yang menggilas seluruh aspek kehidupan, sehingga kita sebagai manusia yang hidup di jamannya secara langsung ikut pula dalam perubahannya, baik yang terjadi dalam tata nilai maupun dalam norma-norma. Salah satu dampaknya membuat manusia menjadi schinzofrenia 'terpecah kepribadiannya', dan menyebabkan terjadinya pergeseran nilai sakral menjadi profan. Kampung-kampung adat jika dikaji dari segi budaya, termasuk kampung adat yang mampu mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya Kampung-kampung adat tersebut pernah menghadapi berbagai masalah bahkan sampai sekarang di mana era globalisasi melanda dunia, mereka tak bergeming dalam kepatuhan dan kelestarian sistem budaya yang dianut sejak dahulu. Budaya yang mengatur semua gerak langkahnya, adalah benteng yang kokoh dan menjadi pegangan erat kaumnya. Sehingga nuansa perubahan di luar dirinya tidak menjadi beban berat.
Kelestarian budaya masyarakat kampung adat dapat diukur dari potret kesahajaan hidup dalam menghadapi gelombang modernisasi. Mereka hidup dalam kesederhanaan, akan tetapi di balik kesederhanaan itu tercermin kebebasan dan kearifan yang sangat dalam. Sistem pengetahuan tradisionalnya adalah gambaran kekayaan batin mereka, dan itu merupakan barometer betapa tinggi budaya mereka, sehingga merupakan panutan bagi masyarakatnya. Dalam sistem kepemimpinan pada umumnya, di kampung-kampung adat bersifat kokolot sentris, puun sentris, olot sentris, atau kuncen sentris, artinya segala bentuk kegiatan selalu berpusat kepada mereka selaku pimpinan yang secara turun menurun. Kampung adat sebagai pranata sosial memberikan ciri bahwa adat istiadat adalah ciri utamanya. Sehingga regenerasi pun akan terus berlanjut dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.
Sejalan dengan kehidupan dewasa ini, sebagian dari masyarakat kampung adat mampu berintegrasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di luar. Dalam kehidupan sehari-hari, dewasa ini sudah mulai menerima bentuk-bentuk perubahan. Bentuk perubahannya tidak mendasar ke dalam bentuk tradisi, misalnya dengan kehadiran TV, bentuk rumah yang lebih artistik dibanding dengan bentuk rumah yang lain, radio, bentuk rumah dengan mempergunakan kaca, dan acesoris interior rumah (kehadiran kursi tamu). Hal itu diakui secara langsung oleh masyarakat. Apabila jauh mengusik dan menerobos tradisi, mereka tetap khawatir akan akibatnya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap  persepsi informan mengenai pengaruh kebudayaan yang diturunkan secara turun temurun terhadap budaya politik yang sedang berkembang saat ini. Dari uraian wawancara di atas dapat kita bahas bahwa bagaimana para informan memandang seragam mengenai seberapa besar pengaruh kebudayaan terhadap budaya politik masyarakat kampung naga. Masyarakat Kampung Naga yang pada dasarnya hidup dengan kesederhanaan yang disertai dengan terjaganya kebudayaan yang menjadi simbol kekuatan mereka sampai saat ini.
Pada dasarnya masyarakat Kampung Naga memandang kebudayaan sebagai warisan yang cukup sakral dan mesti dijaga serta selalu dilestarikan sampai kapanpun dari generasi ke generasi. Sehinga keunikan, kemurnian kebudayaan tetap seperti apa yang diwariskan oleh para leluhurnya. Diantara warisan leluhur yang cukup masih terjaga keasliannya adalah bentuk rumah, posisi rumah, serta upacara-upacara adat yang senantiasa masyarakat laksanakan. Dan pada kesimpulannya mereka sepakat bahwa kebudayaan sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan buudaya politik bagi masyarakat Kampung Naga.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap  hasil penelitian  yang  dilakukan peneliti pada masyarakat Kampung Naga desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Budaya politik masyarakat Kampung Naga adalah budaya politik yang masuk pada kategori kebudayaan subjek parokial (The Parochial Subject Cultur). Tipe budaya politik seperti ini merupakan campuran dari budaya politik parokial dengan budaya politik subjek. Dimana orientasi dalam tipe ini lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. Hal itu didapat dari hasil penelitian mengenai perilaku politik masyarakat Kampung Naga yang kental dengan pengaruh historis yang diturunkan secara turun-temurun dan dikawal dengan norma-norma agama yang kuat. Selain perilaku politik, peneliti juga memperhatikan tingkat partisipasi politik masyarakat Kampung Naga, sehingga didapat kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat Kampung Naga adalah partisipasi politik spectator. Sehingga dari kedua kajian tersebut kita bisa melihat bentuk budaya politik yang berkembang di Kampung Naga tersebut.

2.      Mengenai pengaruh kebudayaan terhadap budaya politik masyarakat Kampung Naga dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan asli yang dipegang warga Kampung Naga sangat berpengaruh terhadap budaya politik yang berkembang pada masyarakat tersebut. Hal itu terlihat dari pola pandang mereka terhadap proses politik yang berkembang di negara ini disikapi dengan biasa-biasa saja. Hal itu menunjukan pengaruh kebudayaan lebih kuat dari pada pengaruh kemajuan politik yang berkembang di indonesia.
B.     Saran- saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :
1.      Pengurus adat, untuk tetap konsisten dalam menjaga dan melestarikan satu-satunya kebudayaan asli yang ada di kabupaten Tasikmalaya tanpa terkontaminasi dengan pengaruh-pengaruh modernisasi.
2.      Warga masyarakat, untuk tetap memperhatikan kemurnian kebudayan warisan leluhur yang menjadi kebanggaan warga sunda pada umumnya.
3.      Pemerintah, untuk bisa memposisikan diri dan mendukung terhadap kelestarian dan kemurnian kebudayaan kampung naga ini serta menjadikan tempat ini menjadi daerah pendidikan untuk mengkaji kebudayaan sunda asli dan menjdi simbol keramah-tamahan warga Kabupaten Tasikmalaya.

DAFTAR ISI
vi
 
                       
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................         i
ABSTRAK..................................................................................................               ii
KATA PENGANTAR................................................................................         iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................         vi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................         x
DAFTAR TABEL.......................................................................................         xi
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................         xii
BAB I        PENDAHULUAN ..................................................................         1
A.    Latar Belakang ...................................................................         1
B.     Rumusan Masalah...............................................................         10
C.     Pembatasan Masalah...........................................................         10
D.    Tujuan Penelitian.................................................................         11
E.     Manfaat Penelitian .............................................................         11
BAB II       TINJAUAN PUSTAKA..........................................................         12
A.    Budaya Politik....................................................................         12
A.1 Pengertian Budaya.......................................................         12
A.2 Pengertian Politik.........................................................         16
A.3 Budaya Politik.............................................................         18
A.3.1. Tipe-Tipe Budaya Politik.................................         20
A.3.1.1 Budaya Politik Parokial.....................         22
A.3.1.2  Budaya Politik Subjek......................         23
Text Box: viiA.3.1.3 Budaya Politik Partisipan...................         25
       B. Perilaku Politik.....................................................................        28
       C. Partisipasi Politik..................................................................         31
...........  C.1.    Bentuk-bentuk Partisipasi Politik......................         32
 C.2. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Partisipasi Poilitik                      34
D.Masyarakat............................................................................         35
D.1. Bentuk-Bentuk Masyarakat........................................         36
D.1.1 Masyarakat Paguyuban (Gemein Schaft)..........         36
D.1.2 Masyarakat Patembayan (Gesel Schaft)............         37
D.2 Tingkatan-Tingkatan Masyarakat.................................         37
D.2.1 Masyarakat  Tradisional....................................         37
D.2.2 Masyarakat Modern..........................................         38
D.2.3 Masyarakat Adat...............................................         38
E. Hasil Kajian Atau Penelitian Lain Tentang Kampung Naga         40
                   F. Kerangka Pemikiran..............................................................        45
BAB III     METODE DAN ANALISIS....................................................         48
A.    Metode Penelitian...............................................................         48
1.      Sasaran Penelitian .........................................................         48
2.      Lokasi Penelitian............................................................         48
3.      Metode Penelitian..........................................................         48
4.      Fokus Penelitian ............................................................         48
5.      Pendekatan Penelitian....................................................         49
6.      Text Box: viiiTeknik Pengambilan Informan.......................................         49
7.      Metode Pengumpulan Data...........................................         50
8.      Sumber dan Jenis Data...................................................         52
B.     Metode Analisis Penelitian.................................................         53
1.      Teknik Analisis Data......................................................         53
2.      Validitas Data................................................................         54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................         57
A. Deskripsi Wilayah Penelitian...............................................         57
     1. Sejarah Singkat Kampung Naga......................................         57
     2. Letak Geografis...............................................................         60
3. Keadaan Penduduk..........................................................         61
4. Kependudukan Kampung Naga.......................................         62
     5. Sistem Kemasyarakatan...................................................         63
     6. Sistem Bahasa..................................................................         64
     7. Sistem Pendidikan...........................................................         64
     8. Sistem Keagamaan...........................................................         65
          a. Pengaruh Hindu Budha...............................................         65
          b. Pengaruh Islam............................................................         65
          c. Hari-Hari Raya............................................................         65
     9. Sistem Perekonomian.......................................................         66
     10. Sistem Politik lokal yang terbangun...............................         66
  B. Karakteristik Informan.......................................................         67
      B.1. Pengurus Adat.............................................................         67
Text Box: ix      B.2. Aparatur Pemerintah Setempat...................................         68
      B.3. Masyarakat Kampung Naga........................................         68
C. Hasil Penelitian..................................................................         69
  C.1. Budaya Politik Masyarakat Kampung Naga..............         69
    C.2. Kebudayaan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga mempengaruhi terhadap budaya politik Kampung Naga...................................         87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....................................................         99
A. Kesimpulan..........................................................................         99
B. Saran-Saran..........................................................................         100
DAFTAR PUSTAKA












Text Box: xDAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran……………………………………............           42
Gambar 2 Analisis Interaktif........................................................................          49           


















Text Box: xiDAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengurus Adat................................................................................         61
Tabel 2. Aparatur Pemerintahan...................................................................         62
Tabel 3. Masyarakat Setempat.....................................................................         63
Tabel 4. Matrik Pertanyaan “Bagaimana Persepsi Anda Terhadap Budaya Kampung Naga ini?                  65
Tabel5. Matrik Pertanyaan “ Bagaimana Persepsi Anda Mengenai Perpolitikan Bangsa Indonesia saat Ini”     .................................................................................................. 70
Tabel 6. Matrik Pertanyaan “ Bagaimana Pengaruh kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur Kampung Naga terhadap budaya politik saat ini...................................................................................           81












Text Box: xiiDAFTAR LAMPIRAN

Lampiran   1.  Foto Kampung Naga
Lampiran   2.  Pedoman Wawancara
Lampiran 3. Surat Keputusan No.346/FISIP-US/E-1/V/2010 tentang dosen pembimbing  skripsi jenjang S-1 mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial    Dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya Ta. 2009/2010.
Lampiran 4. Surat Rekomendasi Kantor Kesatuan Bangsa Dan Linmas Pemerintah   Kabupaten Tasikmala Nomor 070/507/KBL Tentang Rekomendasi Penelitian.











j

1 komentar: